DPR: Pemerintah Perlu Matangkan Strategi Investasi Pembangunan Pembangkit Listrik EBT
pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai perlu memperjelas kewajiban pembelian dan kompensasi listrik sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PPP Anwar Idris mengatakan pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil.
Baca juga: PLN Pasok Listrik EBT ke Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Palu
Menurutnya, harga EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah.
"Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," ujar dia dalam keterangannya, Sabtu (25/9).
Baca juga: Hadirkan Energi Bersih, Bright PLN Batam Kembangkan PLTS
Selain itu, di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.
Di sisi lain, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik. Menurutnya, kerja sama PLN dengan swasta itu boleh, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku.
Sayangnya, kondisi saat ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam posisi punya fleksibilitas kecuali harus menanggung semua risiko yang terjadi dengan kompensasi dari APBN.
Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.
Baca juga: Kementerian ESDM Dorong Penggunaan PLTS Atap Berstandar Nasional
Di tengah kondisi ini, karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut. Padahal, saat ini, PLN tengah dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan atau oversupply. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari demand baru demi menyerap listrik.
Sekadar informasi, saat ini daya mampu listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, itu berarti ada cadangan daya hingga 31%.
"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.
Selain itu, lanjut Mukhtasor, persoalan juga semakin parah ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang oversupply atau berlebih.
Tahun depan, tambahan beban dari listrik TOP pada saat kondisi oversupply ini dapat mencapai puluhan triliun rupiah, dan itu akan makin membengkak akibat penjadwalan atau perencanaan di saat pelemahan perekonomian seperti sekarang.
"Cegahlah RUU EBT agar tidak terperosok pada lubang persoalan, mengulang persoalan-persoalan sebelumnya. Selagi RUU EBT masih dalam pembahasan, maka hilangkanlah segala pintu atau celah yang dapat digunakan untuk membuat PLN wajib membeli listrik produksi swasta tanpa memperhatikan kondisi sistem kelistrikan," ujarnya.
Adapun soal penentuan harga, penerapan feed in tariff (FiT) sudah tidak relevan dan kadaluarsa. Menurutnya, penerapan FiT tanpa insentif bagi industri rantai pasok kelistrikan itu berarti mengabaikan prinsip transisi energi khas Indonesia, yang diatur dalam UU No. 17/2007 tentang RPJPN atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
artikel ini sudah tayang di KONTAN, dengan judul: Soal RUU EBT, DPR: Insentif tarif berpotensi bebani keuangan negara
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.