Seram, Pengamat Ungkap Cara Mafia Migas Bergentayangan di Daerah
Lantaran tidak punya uang untuk menebus 10 persen PI, pemerintah daerah sering kali menggadaikan PI kepada perusahaan swasta
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyatakan, sebelumnya ada beberapa Bupati dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
Lantaran tidak punya uang untuk menebus 10 persen PI, pemerintah daerah sering kali menggadaikan PI kepada perusahaan swasta.
Menurutnya, hal tersebut mengindikasikan bahwa mafia minyak dan gas (migas) masih juga bergentayangan di daerah hingga mengakibatkan kerugian negara.
"Barangkali masih banyak penguasa daerah yang belum terungkap dan tertangkap dalam kasus jual-beli gas di daerah," ujarnya, Minggu (17/10/2021).
Selanjutnya, Fahmy menjelaskan, terdapat dua sasaran yang dimanfaatkan oleh mafia migas dalam pemburuan rente di daerah.
Pertama, kepemilikan 10 persen Profitability Index (PI) yang diberikan kepada daerah penghasil migas dan sasaran kedua adalah jatah bagi pemerintah daerah dalam menjual migas di daerah bersangkutan.
Baca juga: Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin Terjerat OTT KPK, Golkar Hargai Semua Proses Hukum
Lantaran tidak punya uang untuk menebus 10 persen PI, pemerintah daerah sering kali menggadaikan PI kepada perusahaan swasta yang sesungguhnya tidak punya uang juga.
Baca juga: Rekam Jejak Dodi Reza yang Kena OTT, dari Politisi hingga Lama Menjadi Presiden Klub Sriwijaya FC
"Dengan PI di tangan perusahaan swasta itu mencarikan pinjaman di bank untuk menebus PI," kata Fahmy.
Sementara untuk penjualan jatah gas bumi, perusahaan swasta ditunjuk menjual kembali ke perusahaan lain yakni pemilik infrastruktur pipa yang menghubungkan dari sumber gas di daerah dengan konsumen akhir.
Baca juga: Harta Kekayaan Dodi Reza Alex Noerdin, Bupati Muba yang Terjaring OTT KPK, Capai Rp38,4 Miliar
Untuk kedua modus itu, kata Fahmy, perusahaan swasta sebenarnya berperan hanya sebagai makelar dengan modal dengkul.
Namun, perusahaan swata itu bisa leluasa berburu rente migas di daerah karena memanfaatkan kelemahan tata kelola dan memiliki kedekatan dengan penguasa pengambil keputusan di daerah.
Bahkan, mafia pemburu rente migas dinilainya seolah sudah menjadi coherent system yang mampu mempengaruhi penyusunan peraturan tata kelola migas dan mempunyai kedekatan dengan pengambil keputusan, sehingga sangat sulit untuk dibasmi hingga akarnya.
Kendati demikian, dia menambahkan, paling tidak ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk meminimkan pemburuan rente migas.
Pertama, memperbaiki tata kelola migas dengan sangat transparan, di mana siapapun dapat mengawasi keputusan jual-beli migas melalui penyusunan peraturan tata kelola tidak bias dengan kepentingan mafia migas dalam pemburuan rente.
Kedua, yaitu upaya menempatkan pengambil keputusan yang punya integritas dan tidak mempan dari berbagai jenis suap.
"Tanpa kedua upaya itu, jangan harap dapat memagari mafia migas dalam berburu rente di daerah," pungkas Fahmy.