Hampir Tergulung Pandemi, UMKM Batik Bersejarah di Solo Terselamatkan oleh Digitalisasi
Sempat terhenti total selama 12 tahun, usaha batik milik keluarga ini dibangkitkan kembali oleh Juliani Prasetyaningrum pada tahun 2005.
TRIBUNNEWS.COM - Perkembangan zaman menuntut para pelaku usaha, tak terkecuali pebisnis UMKM, untuk beradaptasi melalui cara-cara berbisnis yang lebih mutakhir.
Namun, di tengah industri yang kian kompetitif, tak sedikit pelaku usaha yang gigih mempertahankan sejarah panjang bisnis mereka.
Zaman boleh melaju dan berganti. Tetapi, menjaga warisan keluarga adalah harga mati yang tak bisa ditukar. Setidaknya, inilah yang dilakukan Batik Mahkota Laweyan, UMKM produsen batik asal Solo, penerus dari generasi Batik Puspowidjoto.
Sempat terhenti total selama 12 tahun, usaha batik milik keluarga ini dibangkitkan kembali oleh Juliani Prasetyaningrum pada tahun 2005.
Kecamatan Laweyan di Solo terkenal sebagai pusat dari produsen batik dengan sejarah yang panjang.
Seiring perkembangan zaman, jenis batik tulis dan batik cap memang sempat kalah dari jenis batik print dan tekstil yang diproduksi massal. Dengan biaya produksi tinggi, tidak sedikit pengusaha batik Laweyan yang mengalami kejatuhan dan memutuskan beralih usaha.
Sebagai salah satu keturunan juragan batik tradisional, Yuli (panggilan akrab Juliani) bersama dengan suaminya yang merupakan ketua Forum Batik Laweyan mulai menghidupkan kembali kejayaan kampung batik Laweyan yang sempat mati suri.
Keduanya juga bertekad untuk memotivasi para pengusaha batik lainnya untuk kembali bergeliat.
“Kami mencoba memberi contoh, bahwa usaha kami yang sudah mati suri 12 tahun pun bisa bangkit kembali. Dengan daya dan upaya serta keterbatasan yang kami miliki, alhamdulillah kami diridai untuk membangun kembali hingga saat ini,” ujarnya.
Pertahankan tradisi batik klasik tulis
Batik Super Maestro menjadi produk andalan dari usaha dari Yuli tersebut, yakni produk batik tulis asli dengan proses produksi berulang-ulang hingga menghasilkan warna gradasi bertumpuk-tumpuk yang unik dan abstrak.
Terlepas dari itu, setiap batik memiliki pola unik yang khas dari ekspresi pembatiknya, sehingga motif yang dihasilkan pun eksklusif tidak bisa diproses ulang maupun ditiru.
“Jika pembeli harus jauh-jauh ke lokasi hanya untuk motif batik umum seperti yang lain, untuk apa? Itu yang membuat kami memunculkan ide kreatif untuk membuat motif batik abstrak yang dulu belum ada di tempat lain,” jelasnya.
Seiring perkembangan usahanya, Yuli juga mulai menawarkan kembali jenis batik yang dulu diproduksi oleh orang tuanya, yaitu batik klasik.
Memang, saat ini jenis batik klasik yang diproduksi hand printing telah banyak beredar di pasaran. Akan tetapi, Batik Mahkota Laweyan tetap mengedepankan ragam batik klasik tulis yang membutuhkan proses pembuatan rumit dan membutuhkan ketelatenan. Demi melestarikan tradisi, katanya.
“Karena kalau kita tidak mau menekuni pembuatan batik tradisional klasik dengan manual seperti di masa lalu, siapa yang mau menekuni dan menceritakan pada anak-cucu kita?” ceritanya, yakin.
Beri ruang kreasi bagi difabel
Dalam menjalankan usahanya, Yuli tidak hanya berkeinginan membawa keuntungan bagi diri sendiri, namun juga bagi sesama.
Langkah berbagi sukses dengan masyarakat sekitar ini dimulai dari merekrut tetangga sebelah yang membutuhkan pekerjaan dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan, kemudian berkembang ke warga sekitar Kampung Laweyan.
Batik Mahkota Laweyan pun merekrut karyawan difabel pertamanya, seorang pria bernama Dian, pada tahun 2012.
Pada akhir Maret 2020, meski badai pandemi mulai menerjang, Batik Mahkota Laweyan kembali merekrut dua karyawan difabel lain, yakni kawan dari Dian. Saat itu, mereka baru saja di-PHK dari tempat kerjanya sebagai penjahit.
Keduanya berhasil unjuk kreativitas mereka dengan memproduksi masker batik pertama dari Batik Mahkota Laweyan. Masker tersebut mampu menggenjot omzet di tengah pandemi.
“Dari pengalaman kami memiliki karyawan difabel, ketika eksistensi mereka diterima, itu benar-benar luar biasa. Meski dengan keterbatasannya, mereka tetap semangat dan bahagia mengerjakan tugas-tugasnya,” lanjut Yuli.
Saling menguatkan di tengah terpaan pandemi, Yuli mengaku bahwa ia dan seluruh karyawannya sudah seperti keluarga. Silih asah, asih, asuh.
Bertahan digempur pandemi berkat digitalisasi
Di sisi lain, Batik Mahkota Laweyan telah dikenal dan menerima banyak pesanan dari daerah lain, bahkan mancanegara.
Bermaksud memperkenalkan batik ke berbagai pihak, Batik Mahkota Laweyan pun menawarkan kursus pembuatan batik, yang berhasil menarik minat masyarakat Indonesia dan juga turis asing dari negara lain seperti Suriname, Belanda, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, hingga awal tahun 2020.
Sayangnya, di tengah pencapaian megah tersebut, efek pandemi membuat mereka menenggak pil pahit.
Usahanya mengalami penurunan hingga sekitar 70-80 persen—sesuatu yang bahkan belum pernah dirasakan para pendahulunya!
“Pandemi adalah pengalaman yang luar biasa bagi kami. Saat PSBB tahun lalu, penurunan customer sangatlah signifikan, dan di sekitar Laweyan pun banyak juga usaha yang karyawannya diliburkan. Namun karyawan kami berharap dengan sangat untuk tidak diliburkan,” tutur Yuli.
Tantangan yang dihadirkan oleh pandemi telah memaksa Yuli dan para mitranya agar mencari celah untuk bertahan.
Hingga akhirnya, keputusan besar pun dibuat. Tekad Batik Mahkota Laweyan untuk survive di tengah pagebluk dibuktikan dengan memfokuskan penjualannya secara online melalui e-commerce Tokopedia.
Sebelum pandemi, Batik Mahkota Laweyan memang sudah mulai memanfaatkan Tokopedia secara sambilan, namun belum sungguh-sungguh fokus.
“Ketika terjadi pandemi dan mengalami penurunan customer, kami pun memfungsikan business by online dengan dibantu oleh anak saya,” jelas Yuli.
Fitur-fitur penjual dari Tokopedia dimanfaatkan oleh Yuli untuk meningkatkan penjualan produknya, antara lain TopAds untuk mempromosikan produk di halaman pertama, fitur Cashback untuk para pembeli, serta fitur Broadcast Chat untuk mempromosikan produk terbaru secara langsung kepada pelanggan.
Dahsyatnya, dengan memanfaatkan penjualan online, selama tiga bulan terakhir, jumlah transaksi Batik Mahkota Laweyan pun meroket hingga 7 kali lipat dibanding dengan awal bergabung di Tokopedia pada 2019 lalu.
“Alhamdulillah, betul-betul menolong dengan adanya bisnis online ini. Banyak hal-hal bermanfaat yang diberikan kepada kami sehingga kami tetap survive untuk kesejahteraan kita bersama,” papar Yuli.
Akan terus menebar kebaikan
Kini, Batik Mahkota Laweyan juga telah bergabung dengan Rasa Solo, sebuah sentra UMKM yang memberdayakan sejumlah pegiat usaha dari Solo.
Dengan bergabung bersama Rasa Solo, Batik Mahkota Laweyan mendapatkan kesempatan memperkenalkan variasi produk batiknya secara lebih luas kepada masyarakat. Tidak hanya terbatas pada batik premium saja, tetapi juga batik untuk milenial.
Dengan kata lain, Rasa Solo juga mempromosikan dan mengamplifikasi produk-produk Batik Mahkota Laweyan, sehingga turut membantu mendongkrak penjualan.
Ke depannya, ia juga berharap agar Tokopedia dan Rasa Solo dapat konsisten meneruskan pemberdayaan bagi para UMKM, termasuk dengan memberikan edukasi mengenai teknologi dan digitalisasi, agar perekonomian masyarakat kecil dapat pulih, bahkan lebih baik ketimbang sebelum pandemi.
Begitu pula dengan Yuli. Bersama Batik Mahkota Laweyan, ia pun senantiasa memberi pengaruh baik terhadap sesama, sembari terus menjalankan visi luhurnya: merawat eksistensi batik sebagai warisan nenek moyang melalui edukasi dan kursus kepada masyarakat luas.
“Semuanya berdasar dari visi dan misi kami, yaitu sejahtera bersama-sama. Karena itu kami sangat berharap, mudah-mudahan bisnis online ini bisa dikenal seluruh UMKM dan kami juga dapat membantu dan menginspirasi UMKM lain untuk beradaptasi dan mengikuti tren online,” tutupnya.
Penulis: Anniza Kemala/Editor: Bardjan