Harga Tes PCR di Bali Sempat Melambung Hingga Rp 1,9 Juta, Jokowi Minta Diturunkan Jadi Rp 300 Ribu
Arahan Presiden agar harga PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300.000 dan berlaku selama 3x24 jam untuk perjalanan pesawat
Editor: Muhammad Zulfikar
"Parah ini kondisinya. Semuanya mau cari duit," kata dia.
Baca juga: Memberatkan Penumpang, Epidemiolog Sarankan Pemerintah Beri Subsidi Harga Tes PCR
Kritik YLKI
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada mafia di balik pengadaan tes polymerase chain reaction atau PCR yang kini menjadi syarat wajib bagi calon penumpang pesawat udara.
Para mafia itu diduga memainkan harga demi mengejar keuntungan atau cuan.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, para mafia tes PCR diduga memainkan harga guna mengakali Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah "PCR Ekspress". Alhasil, harga tes PCR kemudian naik berkali-kali lipat.
”HET PCR di lapangan banyak diakali provider (penyedia) dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam,” kata Tulus dalam keterangannya, Minggu (24/10/2021).
"Demi mengakali HET reguler yang harganya Rp 495 ribu, dibuatlah PCR ekspress dan sejenisnya dengan harga selangit," ucap Tulus.
Tulus menduga pihak lab berusaha menemukan celah agar bisa mematok harga lebih tinggi untuk tes PCR.
Baca juga: Penularan Covid-19 Relatif Kecil, Tes PCR untuk Penumpang Pesawat Dinilai Tak Relevan
Ia mengamati saat ini di lapangan ragam harga tes PCR didasarkan pada berapa lama hasil tesnya keluar.
Ia mencontohkan untuk hasil tes yang keluar setelah 6 jam dihargai sekitar Rp1,5 juta di Jakarta.
Sementara di Yogyakarta tarifnya di kisaran Rp750.000.
”Di tempat lain juga beda. Saya menduga ini permainan pihak lab saja. Sebenarnya tes PCR tidak harus 1x24 jam jadi, tapi bisa lebih cepat dengan harga yang sama (HET)," ujar Tulus.
Tulus menganggap permainan harga ini menjadikan penumpang moda transportasi udara sebagai korban.