Dua Tahun Jokowi-Maruf, PB PMII: Kemandirian Ekonomi-Pemberantasan Korupsi Hanya Ilusi
PB PMII menggelar mimbar bebas menyoroti sejumlah kebijakan kontradiktif dalam visi Indonesia Maju pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PB PMII) memberikan catatan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin yang telah melewati tahun kedua pada bulan Oktober ini.
PB PMII menggelar mimbar bebas menyoroti sejumlah kebijakan kontradiktif dalam visi Indonesia Maju bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, Kamis (28/10/2021).
Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan PB PMII Muhammad Arsyad menyoroti masalah kemandirian ekonomi produktif dan pemberantasan korupsi.
Dalam bidang ekonomi, Arsyad menilai pembangunan infrastruktur selama ini tidak efisien bahkan tidak tepat.
Dia mencontohkan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang membengkak sehingga mengubah skema awal dari bisnis-ke-bisnis menjadi pendanaan dari APBN.
Belakangan hal itu membuat pemerintah harus mengucurkan dana sebesar Rp 4,5 triliun untuk proyek itu.
"Suntikan dana ini jelas menjadi beban keuangan negara di tengah masa sulit defisit APBN yang mencapai Rp452 triliun hingga akhir September 2021," kata Arsyad, kepada wartawan, Jumat (29/10/2021).
Baca juga: Faisal Basri: Investasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Sampai Kiamat Tidak Balik Modal
Lebih jauh Arsyad menilai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang tersembunyi.
Menurutnya pemerintah harus berhati-hati jangan sampai Indonesia jatuh pada China’s debt trap.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Defisit APBN Hingga September Masih Terjaga di Rp 452 Triliun
“Ambil pelajaran dari kasus Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan Kereta Api Kenya. Jangan sampai Kereta Cepat Jakarta-Bandung bernasib seperti Kereta Mombasa-Nairobi di Kenya,” katanya.
Baca juga: APBN Indonesia Terpuruk oleh Jebakan Hutang
Arsyad juga menyoroti monopsoni penjualan bijih nikel ke perusahaan smelter China yang merugikan penambang Indonesia.
Menurutnya harga bijih nikel yang dijual ke smelter China lebih murah dibanding harga jual bijih nikel di pasaran internasional.
"Lalu untuk apa membangun smelter di dalam negeri jika ekspor langsung ke pasaran internasional harganya lebih bagus, jadi visi penciptaan nilai tambah dalam negeri malah tidak terjadi,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, Arsyad menyoroti kebijakan pemerintah dimana Presiden tidak bergeming saat 57 pegawai KPK dipecat.
PB PMII mendesak pemerintah untuk memperkuat KPK dengan menerbitkan Perppu bagi UU KPK serta mendorong pemberantasan secara tuntas kasus-kasus korupsi di Indonesia.
“Pandangan kita dan persepsi publik pun negatif terhadap komitmen penegakan hukum dan pemberantasan korupsi oleh pemerintah," ujarnya.
Dalam rilis survey SMRC dan Poltracking kemarin juga terlihat tingkat kepuasan publik terhadap penegakan hukum paling rendah," tandasnya.