Buruh Protes Nilai UMP 2022, Mirah Sumirat: Rakyat Dipaksa untuk Terus Miskin
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah soal UMP tak sesuai dengan regulasi
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah soal Upah Minimum Provinsi (UMP) tak sesuai dengan regulasi yang sudah dibuat.
Mirah mengklaim, aturan turunan berupa PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang justru bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja kenaikan upah minimum dihitung hanya berdasar variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).
Seperti diketahui, pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), telah mengumumkan rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09 persen.
Pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, menurut Mirah, ada tambahan formula baru yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah, yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja, yaitu penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan dalam rentang nilai batas atas dan batas bawah.
"Nilai batas atas upah minimum dihitung berdasarkan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga," kata Mirah dalam keterangannya, Rabu (17/11/2021).
Baca juga: UMP Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2022 Bakal Naik
"Nilai batas bawah upah minimum dihitung dari batas atas upah minimum dikalikan 50 persen," kata dia lagi. Formula baru rentang nilai batas atas dan batas bawah dalam PP Nomor 36 tahun 2021 inilah yang menurut serikat buruh, membuat kenaikan upah minimum 2022 hasilnya justru di bawah inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Padahal, lanjut Mirah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tertinggi didapat oleh Maluku Utara dengan kenaikan 12,76 persen, inflasi tertinggi Bangka Belitung 3,29 persen.
Mirah mengungkapkan, berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2021, kenaikan UMP 2022 tertinggi adalah di DKI Jakarta menjadi sebesar Rp 4.453.724 dari sebelumnya tahun 2021 sebesar Rp 4.416.186,548.
Artinya hanya naik sebesar Rp 37.538. Sedangkan kenaikan terendah UMP tahun 2022 adalah di Jawa Tengah menjadi sebesar Rp 1.813.011, atau hanya naik sebesar Rp 14.032 dibanding UMP tahun 2021 sebesar Rp 1.798.979,00.
Menurut catatan Aspek, artinya dengan kenaikan UMP tahun 2022 tertinggi hanya sebesar Rp 37.538 dan kenaikan terendah adalah hanya naik Rp 14.032.
"Ini sangat memalukan di tengah kondisi rakyat yang semakin sulit dan daya beli masyarakat yang semakin rendah. Rakyat dipaksa untuk terus miskin," ungkap Mirah.
Apalagi pada tahun 2020 yang lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah memutuskan untuk tidak menaikkan upah minimum tahun 2021, dengan hanya berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11/HK04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19.
Baca juga: Protes Kenaikan Upah Minimum Hanya 1,09 Persen, Buruh Ancam Gelar Aksi Mogok Nasional Bulan Desember
Mirah juga menyebut bahwa UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 dan PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, semakin membuktikan bahwa Pemerintahan Joko Widodo lebih berpihak kepada pengusaha.