Ekonom INDEF: Kenaikan Upah Buruh Minimal Sesuai dengan Proyeksi Inflasi Tahun Depan
Kemenaker telah mengumumkan rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09 persen.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah mengumumkan rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09 persen.
Menurut para buruh, perhitungan pemerintah dalam menaikan persentase gaji di tahun 2022, tidak tepat, sehingga hal tersebut dinilai sangat kecil sekali.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, seharusnya kenaikan gaji buruh disamakan dengan laju inflasi tahunan.
"Idealnya kenaikan upah minimal, sama dengan angka inflasi," ucap Rusli saat dihubungi Tribunnews, Kamis (18/11/2021).
"Hal ini untuk mengimbangi agar upah riil tidak tergerus oleh inflasi," sambungnya.
Senada dengan Rusli, Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengungkapkan, besaran gaji buruh yang kecil dapat menghambat kinerja konsumsi dan daya beli masyarakat.
Baca juga: Upah Minimum Pekerja Tahun 2022 Naik 1,09 Persen, Simak Besaran UMP Beberapa Daerah di Indonesia
Sehingga hal tersebut berdampak kepada pertumbuhan ekonomi yang melambat.
"Kenaikan upahnya cuma 1 persen, sementara proyeksi inflasi di atas 3 sampai 4 persen di tahun 2022 ke depan. Ini menyebabkan konsumsi dan daya beli rumah tangga justru terhambat," ungkap Bhima saat dihubungi Tribunnews, Rabu (17/11/2021).
Baca juga: Upah Minimum Tahun Depan Cuma Naik 1 Persen, Buruh: Ini Sangat Memalukan
"Kenapa? Upah minimum setidaknya naik di atas inflasi dan di atas pertumbuhan ekonomi. Tujuannya adalah agar masyarakat memiliki uang lebih untuk dibelanjakan," sambungnya.
Bhima juga mengatakan, kenaikan gaji yang cuma 1 persen dinilainya kurang mengakomodasi kepentingan dari para buruh.
Baca juga: Upah Buruh Naik 1 Persen, Ekonom Prediksi Pertumbuhan Konsumsi dan Daya Beli Masyarakat Terhambat
Seperti diketahui, saat ini masyarakat masih berada di masa sulit imbas pandemi Covid-19.
Ditambah lagi, Pemerintah belum lama ini memutuskan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik, dari 10 persen menjadi 11 persen mulai April 2022.
Hal-hal seperti itu dinilainya sangat tidak memihak kepentingan pekerja.
"Tahun depan ada kenaikan PPN 10 sampai 11 persen. Kebijakan ini kan tidak mengakomodasi kepentingan dari para pekerja," jelas Bhima.
"Ini sebenarnya cukup berisiko menghambat daya beli masyarakat yang sekarang dalam masa pemulihan, dan pertumbuhan kinerja ritel juga berpengaruh," pungkasnya.