Miris, UMP Naik 1,09 Persen Di Tengah PPN Yang Juga Naik dan Prediksi Inflasi 2-3 Persen
Kritikan ini salah satunya diungkapkan oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), Mirah Sumirat.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah mengumumkan rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09 persen.
Kenaikkan nilai tersebut sangat kecil, dan dikritik keras oleh para buruh.
Kritikan ini salah satunya diungkapkan oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), Mirah Sumirat.
Dirinya mengungkapkan, Pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Baca juga: Upah Minimum Pekerja Tahun 2022 Naik 1,09 Persen, Simak Besaran UMP Beberapa Daerah di Indonesia
Aspek Indonesia menyatakan bahwa Pemerintah sedang mempermalukan dirinya sendiri, karena terbukti membuat aturan turunan berupa PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang justru bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam UU Cipta Kerja kenaikan upah minimum dihitung hanya berdasar variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).
Namun dalam PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, ada tambahan formula baru yang ditetapkan sepihak oleh Pemerintah, yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja, yaitu penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan dalam rentang nilai batas atas dan batas bawah.
Nilai batas atas upah minimum dihitung berdasarkan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga.
Baca juga: Kenaikan UMP Hanya 1,09 Persen, Buruh Ancam Aksi Mogok Nasional, Pengusaha: Kami Keberatan
Nilai batas bawah upah minimum dihitung dari batas atas upah minimum dikalikan 50 persen.
“Formula baru rentang nilai batas atas dan batas bawah dalam PP No. 36 tahun 2021 inilah yang membuat kenaikan upah minimum 2022 hasilnya justru di bawah inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi,” jelas Mirah dalam keterangannya kepada Tribunnews, (17/11/2021).
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengungkapkan, kenaikan gaji yang cuma 1 persen dinilainya kurang mengakomodasi kepentingan dari para buruh.
Seperti diketahui, saat ini masyarakat masih berada di masa sulit imbas pandemi Covid-19.
Ditambah lagi, Pemerintah belum lama ini memutuskan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik, dari 10 persen menjadi 11 persen mulai April 2022.
Baca juga: UMP Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2022 Bakal Naik
Hal-hal seperti itu dinilainya sangat tidak memihak kepentingan pekerja.
"Tahun depan ada kenaikan PPN 10 sampai 11 persen. Kemudian, kenaikan upahnya cuma 1 persen, sementara proyeksi inflasi di atas 3 sampai 4 persen di tahun 2022 ke depan.," jelas Bhima.
"Ini sebenarnya cukup berisiko menghambat daya beli masyarakat yang sekarang dalam masa pemulihan, dan pertumbuhan kinerja ritel juga berpengaruh," sambungnya.
Bhima menghimbau, agar para buruh atau pekerja dapat menekan Pemerintah melalui jalur konstitusional atau jalur-jalur lainnya.
Agar, kepentingan para pekerja dapat lebih dilihat dibandingkan kepentingan para pengusaha.
“Kalau upah minimum kecil, disarankan pekerja melakukan tekanan secara terus menerus dan membuka ketimpangan dan keberpihakan dari Pemerintah,” pungkasnya.