NIK-NPWP Kini Diintegrasikan, Pengeluaran Orang Kaya Makin Mudah Terlacak
Integrasi data NIK dengan NPWP ini akan membuat pengeluaran orang-orang kaya akan makin mudah diketahui kantor pajak.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akan mengintegrasikan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, integrasi data NIK dengan NPWP ini akan membuat pengeluaran orang-orang kaya akan makin mudah diketahui kantor pajak.
“Banyak harta kekayaan para bos-bos besar yang dibeli atas nama supirnya atau pembantu. Nah, itu nanti jadi bisa kena utang pajak karena lewat NIK sudah tercantum NPWP,” kata Suryadi dalam acara Diskusi Publik: Wajah Baru Perpajakan Indonesia Pasca-UU HPP, Selasa (23/11/2021).
Suryadi yang juga kerap ikut membahas dan mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tetang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu bilang, rencananya otoritas pajak akan menerapkan integrasi NIK dengan NPWP pada tahun 2023 mendatang.
“DJP akan ada sistem baru, ini selesai tahun 2023. Jadi tidak bisa lari lagi. Akan sangat mudah bisa terdeteksi, ga bisa lari kemana-mana,” ujar Suryadi.
Untuk menghindarinya, Suryadi mengimbau, para bos-bos besar untuk mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) wajib pajak alias tax amnesty jilid II yang akan diselenggarakan pemerintah pada 1 Januari 2022 sampai 1 Juni 2022.
Baca juga: Setelah Gantikan NPWP, NIK Diharap Bisa Jadi Nomor BPJS hingga Nomor Induk Siswa dan Mahasiswa
Tujuannya, agar mereka bisa melaporkan pengeluaran dan/atau harta kekayaannya lebih dini. Ini karena tarif yang dibandrol PPS WP hanya 6 sampai 18 persen.
Angka ini jauh lebih rendah dari lapisan tertinggi tarif PPh orang pribadi dengan penghasilan kena pajak lebih dari Rp 5 miliar per tahun yang mencapai 35% sebagaimana UU HPP.
Baca juga: Soal Integrasi NIK dan NPWP, Muhaimin Iskandar: Keamanannya Harus Berlapis
“Jangan sampai menyesal. Sebelum kecewa lagi merasa menyesal, saya mengingatkan PPS harus ikut. Kebijakan 1 nanti berlaku untuk WP OP dan WP Badan, kebijakan 2 WP OP saja, tinggal pilih yang mana,” ujarnya.
Di sisi lain, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyampaikan, saat ini otoritas pajak tengah melakukan pembahasan peraturan integrasi NIK dan NPWP dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, selaku pemegang kewenangan NIK.
Baca juga: Aturan Baru dalam RUU HPP yang Resmi Disahkan Hari Ini, NIK jadi NPWP hingga Kenaikan PPN
“Mudah-mudahan berlangsung secepat mungkin tergantung kesiapan. Saat ini kami sedang diskusi dengan Dukcapil dan Kemenkumham. Kalau sudah siap infrastrukturnya ready maka siap,” kata Yon.
Sebelumnya, Pemerintah dan DPR sudah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021) kemarin.
Dalam UU HPP terdapat beberapa poin penting yang disepakati, termasuk soal NIK akan difungsikan menjadi NPWP.
Kini, Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP resmi difungsikan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Terobosan baru ini, diharapkan memudahkan Wajib Pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya.
"Terdapat terbosan yang merupakan usulan DPR yaitu mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan."
"Dengan menggunakan NIK sebagai pengganti NPWP akan semakin memudahkan para Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube DPR RI, Jumat (8/10/2021).
Yasona mengatakan, meski menggunakan NIK namun bukan berarti semua wajib membayar PPh. Tetapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak.
"Yaitu, apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun," katanya dalam Sidang Paripurna, Kamis (7/10/2021).
RUU HPP memuat enam kelompok materi utama yang terdiri dari 9 BAB dan 19 Pasal.
Di antaranya, mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa UU perpajakan, baik UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), UU Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan memperkenalkan Pajak Karbon.
Isi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang sudah disahkan DPR
Dalam Sidang Paripurna, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie menyampaikan sistematika RUU HPP terdiri dari 9 Bab dan 19 Pasal.
Rinciannya, ada enam ketentuan di dalamnya, yakni:
1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.
Dengan terintegrasinya penggunaan NIK akan mempermudah administrasi Wajib Pajak Indonesia, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi.
Program ini akan mempermudah aktivitas pendataan masyarakat sebagai wajib pajak.
- Terkait asistensi penagihan pajak global kerjasama bantuan. Penagihan pihak antar negara, dilakukan melalui kerja sama negara mitra secara resiprokal.
Hal ini dilaksanakan sebagai wujud peran aktif Indonesi dalam kerja sama internasional.
2. Ketentuan Terkait Pajak Penghasilan
- Adanya pengaturan lapisan tarif PPh Orang perbaikan yang berpihak pada lapisan penghasilan terendah yang saat ini sebesar Rp 60 juta.
- Adanya penambahan tarif PPh Wajib Pajak OP sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar per tahun, serta penambahan ambang batas peredaran bruto tidak kena pajak untuk UMKM
- Pengaturan ulang tarif PPh Badan sebesar 22% untuk mendukung penguatan basis pajak.
- Pengaturan tentang unik dan amortisasi.
“Kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan bentuk perlindungan bagi UMKM dan masyarakat rendah."
"Selain itu, kebijakan tersebut juga diharapkan lebih mencerminkan keadilan bagi Wajib Pajak,” kata Dolfie saat Rapat Paripurna, Kamis (7/10/2021).
3. Ketentuan Terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Komitmen keberpihakan pada masyarakat bawah tetap terjaga dengan memberikan pemberian fasilitas PPN atas kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial.
Hal ini merupakan bentuk keberpihakan DPR sebagai wakil rakyat dalam kebutuhan dasar masyarakat banyak.
“Selain itu, juga diperkenalkan skema PPN Final untuk sektor tertentu agar lebih memudahkan bagi pelaku UMKM serta menyesuaikan tarif PPN secara bertahap sampai dengan 2025,” tutur Dolfie.
Baca juga: Ingin Mengubah Data di KTP? Simak Caranya Berikut Ini
4. Ketentuan Terkait Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak
Untuk mendorong peningkatan kepatuhan kepatuhan, Panja juga menyusun Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP) yang memfasilitasi para Wajib Pajak yang memiliki itikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan.
“Dengan tetap memperhatikan pemenuhan rasa keadilan bagi seluruh wajib pajak. Program ini diharapkan dapat mendorong Wajib Pajak untuk secara sukarela mematuhi kewajiban pajaknnya,” kata dia.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan.
PPS akan berlangsung pada 1 Januari-30 Juni 2022, sebagaimana dikutip Tribunnews.com dari Kemenkeu.go.id.
5. Ketentuan Pajak Karbon
Penyusunan peta jalan pajak karbon dan pasar karbon bersama DPR, penetapan subjek, objek, dan tarif pajak karbon, serta insentif wajib pajak yang berpartisipasi dalam emisi karbon.
“Hal ini juga merupakan komitmen terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan penurunan emisi gas rumah, agar kita tetap dapat mewariskan negara ini kepada generasi penerus bangsa,” terang Dolfie.
6. Ketentuan Terkait Cukai
Penegasan ranah pelanggaran administratif dan prinsip-prinsip ultimum remedium penyidikan pada tindak pidana terkait dengan penerimaan negara dan kepastian hukum.
Diharapkan adanya prinsip ultimum remedium merupakan pendorong restoratis keadilan di bidang pajak.
Penjelasan Dirjen Dukcapil Terkait NIK Difungsikan Jadi NPWP
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, Penggabungan NIK dan NPWP ini sejalan dengan perkembangan regulasi Perpres Nomor 83 Tahun 2021.
Di mana, dalam Perpres tersebut memuat tentang NIK yang menjadi dasar pelayanan publik.
"Kalau kita mencermati perkembangan regulasi Perpres Nomor 83 Tahun 2021, di sana ada arahan Bapak Presiden."
"Pertama, NIK digunakan sebagai dasar pelayanan publik. Jadi pelayanan publik harus pakai NIK."
"Kedua, apabila penduduk punya NPWP, maka digunakan NIK dan NPWP ditambah dalam semua pelayanan publik," katanya, dikutip Tribunnews.com dari kanal YouTube Kompas TV, Rabu (6/10/2021).
Lebih lanjut, Zudan menjelaskan, apa yang dimuat dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2021 merupakan kelanjutan dari UU No 24 Tahun 2013.
Pada waktu itu sudah ada semangatnya, yakni single identity number atau satu penduduk hanya boleh mempunyai satu identitas yang menjadi kode referensi tunggal, yakni NIK.
Kemudian, hal itu dimuat dalam Pasal 64 UU Nomor 24 Tahun 2013.
Pasal tersebut, memuat tentang pelayanan publik wajib menggunakan NIK di mana NIK jadi kode referensi tunggal bagi penduduk yang digunakan sebagai proses pelayanan publik.
NIK difungsikan jadi NPWP ini masuk dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP yang kini sudah disahkan.
Sebagian artikel ini tayang di Kontan dengan judul Ada integrasi NIK-NPWP, pengeluaran orang-orang kaya kian mudah ditelisik