Surplus Perdagangan Indonesia-Swiss Terus Meningkat di Triwulan III Tahun 2021
Surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap Swiss periode Januari-September 2021 terus meningkat mencapai US$ 1,13 miliar atau Rp. 16,10 triliun.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, BERN - Surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap Swiss periode Januari-September 2021 terus meningkat mencapai 1,13 miliar dolar AS atau Rp 16,10 triliun.
Total nilai ekspor periode Januari-September 2021 sebesar 1,41 miliar dolar AS atau Rp.19,99 triliun dan impor pada periode tersebut mencapai 273,89 juta dolar AS atau Rp 3,89 triliun.
Informasi ini disampaikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bern, Rabu (24/11/2021).
Berdasarkan data dari Swiss Federal Customs Administration (FCA), nilai ekspor Indonesia ke Swiss pada triwulan III (Juli-September 2021) mencapai 432,72 juta dolar AS.
Impor Indonesia dari Swiss sebesar 86,94 juta dolar AS, dimana sebelumnya, pada triwulan II (April-Juni 2021), nilai ekspor Indonesia ke Swiss mencapai 711,94 juta dolar AS dan impor Indonesia dari Swiss sebesar 90,88 juta dolar AS.
Baca juga: Retno Marsudi Singgung Perdagangan Non-Diskriminatif Saat Bertemu Menlu Perancis di Jakarta
Surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap Swiss utamanya dipengaruhi kontribusi dari ekspor 10 komoditas yakni logam mulia, perhiasan/permata (HS 71), alas kaki (HS 64), produk tekstil bukan rajutan (HS 62), produk tekstil rajutan (HS 61), perlengkapan elektrik (HS 85), furniture (HS 94), kopi (HS 0901), mesin turbin/suku cadang (HS 84), minyak atsiri (HS 3301.29), dan kimia organik (HS 29).
Surplus tersebut diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan pertumbuhan ekonomi Swiss yang cukup kuat pada tahun 2021 ini.
“Swiss State Secretariat for Economic Affairs SECO memperkirakan ekonomi Swiss akan tumbuh sebesar 3.2% pada tahun 2021, dan diprediksi akan tumbuh sebesar 3.6% pada tahun 2022,” tulis pernyataan tersebut.
Namun demikian, Swiss Economic Institute ETH Zurich, KOF, memprediksi bahwa ekonomi Swiss baru akan sepenuhnya normal pada tahun 2023.
Dalam hal ini, tingkat inflasi dan masalah global supply chain diprediksi berpotensi akan memperlambat ekonomi Swiss.
Baca juga: Melantai di Bursa, Harga Saham Mitratel Turun di Perdagangan Pertama
KOF juga melaporkan bahwa inflasi di Swiss naik sebesar +0.5% dalam beberapa bulan terakhir dan diperkirakan akan naik sebesar +0.8% pada tahun 2022 dan +0.4% di tahun 2023.
Pendorong utama kenaikan inflasi di Swiss tersebut adalah anjloknya harga perjalanan udara, paket liburan dan akomodasi hotel akibat pandemi, serta adanya kenaikan harga pada sektor energi.
Dubes RI untuk Swiss dan Liechtenstein, Muliaman Hadad mengatakan supply chain bottlenecks yang terjadi saat ini berpotensi akan mempengaruhi arus perdagangan Indonesia ke Swiss.
Utamanya dapat mempengaruhi harga barang dan terlambatnya pengiriman sehingga memunculkan kekhawatiran adanya pengalihan jalur produsen.
“Terutama yang perlu diantisipasi adalah produk HS 84, yakni produk mesin turbin dan suku cadang, dan perlengkapan elektronik (HS 85),” ujarnya.
Produk Mesin Turbin dan suku cadang (HS 84) pada triwulan III/2021 naik sebesar 10% dibanding triwulan II/2021.
Demikian juga dengan produk perlengkapan elektronik (HS 85) dan tekstil rajutan (HS 61) masing-masing naik sebesar 9,8% dan 6,4%.
Baca juga: Bongkar Bisnis Ilegal Perdagangan Satwa Langka, Resmob Sita 11 Burung Endemik Semeru di Lumajang
Hasil survei yang dilakukan oleh Economie Suisse, sebuah asosiasi pengusaha terbesar Swiss, misalnya melaporkan bahwa empat dari lima perusahaan telah terkena dampak dari keterlambatan pasokan raw material dan beberapa suku cadang seperti baja, aluminium dan kayu, semi konduktor, plastik dan produk kimia tertentu.
Survei tersebut dilakukan pada 237 perusahaan, dan sekitar 50% akan mencari alternatif untuk kesediaan produknya dengan mencari pemasok baru di negara lain.
“Indonesia perlu mengantisipasi dan mengambil langkah-langkah agar barang tidak terhambat dan memastikan importir Swiss tetap membeli dari Indonesia, terutama setelah berlakunya Indonesia-EFTA CEPA sejak 1 November 2021, “ kata Muliaman Hadad.
Di bawah payung Indonesia-EFTA CEPA, beberapa contoh komoditas yang akan mendapatkan pengurangan tarif masuk EFTA (Swiss, Liechtenstein, Iceland, dan Norway).
Antara lain pada produk fishery, palm oil, emas, alas kaki, kopi, tekstil, perlengkapan elektronik, machinery, bicycle, tyre, dan furnitur.
Pada periode Januari-September 2021, berdasarkan data BKPM, Swiss masih menempati urutan ke-2 negara dari benua Eropa dan ke-9 dari semua negara yang berinvestasi di Indonesia.
Jumlah proyek telah mencapai 287 dengan nilai 571,34 juta dolar AS pada periode Januari-September 2021.