Sektor Swasta Dukung Agenda Pemerintah Atasi Perubahan Iklim Lewat Pendekatan Yurisdiksi
Di pertemuan COP 26 Glasgow, Pemerintah RI berkomitmen menahan laju peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai salah satu penandatangan kesepakatan Paris, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di UNFCCC COP 26, menyatakan komitmen kuat Indonesia dalam mendorong Agenda Perubahan Iklim yang ditunjukkan dalam penurunan laju deforestasi yang signifikan.
Southeast Asia Regional Director Proforest Surin Suksuwan menilai, Indonesia telah mencapai kemajuan besar terkait penurunan laju deforestasi dan reduksi karbon. Namun sayangnya upaya ini belum diketahui luas ke dunia internasional.
Baca juga: Dorong Produksi Migas Rendah Karbon, SKK Migas Susun Peta Jalan
Di pertemuan COP 26 Glasgow, Pemerintah RI berkomitmen menahan laju peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dengan melibatkan para pemangku kepentingan dari non-state actor.
Salah satunya adalah melalui melalui pendekatan yurisdiksi (JA) dengan memperkuat praktek gotong-royong.
General Manager Group Sustainability Wilmar International, Pepertua George menilai, sektor swasta terus menunjukan komitmen dan inisiatif yang jelas pada saat COP 26 terhadap dekarbonasi.
Dia mengatakan, Wilmar sebagai salah satu dari 12 perusahaan perdagangan dan pengolahan agrikultur global, berkomitmen membangun peta jalan sektoral untuk meningkatkan aksi rantai pasokan sesuai dengan komitmen menahan laju peningkatan suhu dibawah 1,5 derajat celcius untuk dapat dipublikasikan pada COP 27.
Baca juga: Hadapi Isu Dekarbonisasi, Erick Thohir Dorong Insan BUMN Ikut Gerakan Menanam Pohon
"Penting bagi semua pemangku kepentingan, terutama sektor swasta dengan pemerintah, untuk menyelaraskan pendekatan maupun strategi untuk saling bekerja sama dalam mengembangkan dan mewujudkan tujuan multisektoral yang dipetakan selama COP 26," ujarnya dalam keterangan pers tertulis, Jumat (3/12/2021).
Indonesia juga dinilai telah menunjukkan bukti nyata terhadap kepatuhannya untuk mengelola hasil hutan secara bertanggungjawab.
Diantaranya lewat verifikasi legalitas kayu SVLK dan Pengelolah Hutan Produksi Lestari (PHPL) yang mencakup perlindungan keanekaragaman hayati dan pencegahan iklim. Salah satu dunia usaha yang terlibat adalah SLJ Global.
Chief Financial Officer SLJ Global, Andrew Sunarko mengatakan, perusahaannya membangun tata kelola yang kuat, tidak hanya dalam model operasi bisnis, melainkan seluruh rantai pasok lewat pemenuhan standard sertifikasi PHPL Indonesia, SLVK, dan juga standard Internasional, yaitu FSC.
"Tujuannya untuk memastikan pengelolaan hutan dilakukan secara berkelanjutan yang melindungi iklim, ekosistem, dan juga masyarakat,” ungkap Andrew Sunarko.
Dia menambahkan, untuk membangun tata kelola yang baik, pihaknya membangun tata kelola yang menyeluruh dan melibatkan rantai pasok serta masyarakat umum untuk selalu diedukasi agar memahami agenda keberlanjutan perusahaan.
Co-founder & President Director Daemeter Consulting Aisyah Sileuw membeberkan, sektor industri di Indonesia dan Malaysia berada di bawah tekanan publik untuk mengurangi deforestasi dalam rantai pasok sejak tahun 1980-1990an.
Namun dia menilai deforestasi di Indonesia dan Malaysia telah berkurang tajam sejak 2015.
Berdasar hasil studi Daemeter Bersama Tropical Forest Alliance, laju deforestasi telah berkurang sebesar ~734 ribu Ha/tahun pada 2014-2015, menjadi ~339 ribu Ha/ tahun pada periode 2019-2020 .
“Para pemangku kepementingan telah berkumpul dan berkomitmen untuk menghambat perubahan iklim dengan cara mengurangi laju deforestasi," ujar Aisyah.
Chief Executive Officer Rimba Makmur Utama Dharsono Hartono menambahkan,. dalam konteks yang berlaku saat ini, manusia dan alam bisa saling berdampingan.
Menurutnya, dengan segala upaya yang ada, manusia dapat memberikan nilai tambah ke alam, salah satunya dengan menjaga keanekaragaman hayati.
“Kata kunci yang sering saya ucapkan adalah keinginan belajar, transparan, dan keadilan. Sudah saatnya bukan hanya LSM yang peduli, melainkan seluruh pihak yang belajar dari alam sebagai aset bagi kita untuk hidup kedepannya,” ujar Dharsono.