Tak Terpengaruh Covid, Konglomerat Ini Himpun Dana Segar dari IPO di Bursa
Kemudian, perusahaan TP Rahmat yakni PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA) pada Desember 2021 menggelar IPO dengan target
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Seperti tak terpengaruh oleh pandemi Covid-19, sejumlah konglomerat malah membawa perusahaannya melakukan initial public offering (IPO) atau melantai di bursa.
Langkah tersebut dilakukan untuk mendapatkan dana segar dari para investor dalam jumlah besar.
Sebagai contohnya taipan perusahaan asal Surabaya, Hermanto Tanoko yang mengantar dua perusahaannya melantai di bursa pada akhir tahun ini.
Setelah PT Caturkarda Depo Bangunan Tbk (DEPO) melantai di bursa dengan raihan dana segar sebesar Rp 493,57 miliar, pihaknya melaksanakan IPO PT Avia Avian Tbk (AVIA) dengan perolehan dana senilai Rp 5,76 triliun dari pasar modal.
Baca juga: BEI: Ada 25 Perusahaan Cari Dana Segar Lewat IPO
Kemudian, perusahaan TP Rahmat yakni PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA) pada Desember 2021 menggelar IPO dengan target dana segar sekitar Rp 353 miliar.
Tidak hanya itu, dalam waktu dekat perusahaan Boy Thohir, anak usaha PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yakni PT Adaro Minerals Indonesia juga berencana akan melaksanakan IPO di Januari 2022 dengan target perolehan dana Rp 604,86 miliar.
Dalam prospektusnya, Adaro Minerals akan menggunakan 60% dana hasil IPO untuk keperluan pemberian pinjaman kepada anak usaha, yaitu Maruwai Coal.
Dana ini untuk mendorong kapasitas infrastruktur pertambangan batubara seiring meningkatnya produksi batubara dan biaya eksplorasi.
Baca juga: Sangat Menjanjikan, Konglomerat Ramai-ramai Investasi di Bidang Smelter
Sisanya akan digunakan ADMR untuk mengembalikan sebagian pokok pinjaman dari ADRO.
Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat menilai aksi ramai-ramai IPO ini tentu ada hubungannya dengan kondisi pandemi.
Misalnya saja, perusahaan TP Rahmat yakni PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA) percaya diri melantai di bursa karena melihat sektor otomotif yang mulai kembali bergairah di tahun ini terutama karena banyak insentif dari pemerintah.
"Selain itu, kondisi pandemi yang sudah berjalan sejak 2 tahun terakhir ini menyebabkan booming-nya pasar modal. Hal ini tercermin dari jumlah investor yang meningkat signifikan," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (30/12).
Melansir catatan Kontan.co.id sebelumnya, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat, jumlah investor pasar modal tumbuh 71,42% sepanjang tahun 2021.
Baca juga: Segera Melantai di Bursa Efek, Ini Sederet Persiapan BCA Digital
Hal itu terlihat dari single investor identification (SID) yang mencapai 6,65 juta per 19 Oktober 2021, naik dari posisi akhir tahun 2020 yang sebanyak 3,88 juta.
Teguh mengatakan, dengan banyaknya investor yang masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI) tentu banyak dana yang masuk.
"Jadi artinya saat ini waktu yan tepat untuk IPO karena banyak peminatnya. Buktinya IPO yang dilakukan sukses semua," kata Teguh.
Teguh bilang, jika kondisi tidak mendukung, akan banyak IPO yang batal dan ditunda.
Tetapi kalau melihat kesuksesan para pemilik perusahaan mendapatkan dana segar hingga triliunan di tahun ini, artinya memang momentumnya sedang bagus.
"Tidak setiap tahun dan setiap saat kondisi pasar cocok untuk IPO seperti sekarang. Kadang ada kondisi pasar sedang lesu, investor publik jarang bertambah," ujar Teguh.
Di tahun depan, BEI telah memproyeksi, jumlah investor pasar modal pada tahun 2022 dapat mencapai lebih dari 10 juta Single Investor Identification (SID).
Nah melalui dasar ini, Teguh mengatakan, tahun depan bisa jadi IPO akan semakin semarak.
Kendati momentum ini baik untuk pemilik perusahaan, Teguh berpesan, investor harus lebih selektif memilih.
Semakin besar perusahaan yang IPO, semakin besar nilai target dan perolehannya maka semakin gencar promosinya.
Baca juga: WMP Siap Melantai di BEI Pekan Depan, Incar Dana Rp 707 Miliar
Biasanya akan diiming-imingi perusahaan tersebut akan menjadi perusahaan bagus, saham akan naik, dan sebagainya, padalah belum tentu perusahaan yang bersangkutan sebagus yang dikatakan.
"Investor harus membaca prospektus, membaca keterbukaan informasi, laporan keuangan, jangan hanya dengar dari katanya-katanya saja," tegasnya.
Meningkat 11 Kali
Sepanjang tahun 2021 ini, penggalangan dana melalui skema penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) semarak.
Angkanya pun cukup mencengangkan, nilai penggalangan dana dari IPO ini melonjak hampir 11 kali lipat di tahun ini.
Dalam catatat Bursa Efek Indonesia (BEI), total nilai emisi IPO di BEI sepanjang tahun ini mencapai Rp 62,61 triliun.
Angka tersebut melesat 1.071% dibanding keseluruhan nilai emisi 2020 yang hanya sekitar Rp 5,58 triliun.
Jumlah perusahaan yang melaksanakan IPO pada tahun 2021 adalah sebanyak 54 emiten, naik dari 2020 yang sebanyak 51 perusahaan.
Hal ini membuat Indonesia menempati posisi pertama dibanding negara di kawasan Asia Tenggara lainnya dalam jumlah perusahaan tercatat baru terbanyak.
Indonesia lebih unggul dari Thailand yang mencatatkan emiten baru sebanyak 38 perusahaan, Malaysia 29 perusahaan, Singapura 8 perusahaan, dan Filipina 5 perusahaan.
Dengan penambahan ini, total perusahaan yang tercatat di BEI per akhir Desember 2021 mencapai 766 emiten.
Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan, emisi IPO 2021 yang mencapai Rp 62,61 triliun merupakan nilai penggalangan dana tertinggi sepanjang sejarah BEI.
Ia berharap, tren kenaikan pencatatan ini dapat berlanjut pada taun 2022.
Apalagi, saat ini, BEI masih mengantongi 26 calon perusahaan tercatat dalam pipeline IPO yang sebagian masih dalam proses penawaran umum.
"Di hari perdagangan terakhir ini, ada lagi calon emiten yang menyatakan ingin IPO cukup besar di 2022.
Saya tidak bisa menyebutkan nama perusahaannya tapi diharapkan dapat membuat antusiasme di 2022 lebih baik dari 2021," kata Inarno dalam acara konferensi pers BEI secara virtual, Kamis (30/12).
Direktur Penilaian BEI I Gede Nyoman Yetna menambahkan, ke depannya, BEI akan terus mendorong semua sektor untuk menjadi perusahaan terbuka.
"Dari sisi sektor, kami mengakomodasi semua sektor untuk dapat tercatat.
Akan tetapi, bercermin pada tahun 2021, selain consumer good dan keuangan, preferensi investor ke depan lebih kepada sektor teknologi, infrastruktur, dan basic material," tutur Nyoman.
Menurut Nyoman, BEI menargetkan adanya penambahan 68 pencatatan efek baru pada 2022, lebih tinggi dari target 2021 yang sebanyak 66 pencatatan efek.
Target pencatatan efek yang dimaksud terdiri dari saham, obligasi, ETF (Exchange Traded Fund), EBA (Efek Beragun Aset), DIRE (Dana Investasi Real Estate), dan DINFRA (Dana Investasi Infrastruktur). (Kontan/Nur Qolbi/Arfyana Citra Rahayu/Sugeng Adji Soenarso).