Terkesan Terburu-buru, Ekonom Faisal Basri Kritik Pemindahan IKN, Azyumardi Azra: Oligarki Politik
Pemindahan IKN dinilai kurang elok untuk dijalankan saat ini, terutama karena kondisi ekonomi Indonesia yang masih dalam proses pemulihan.
Editor: Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan Ibu Kota Negara (IKN) terus ramai menjadi bahan perbincangan baik di forum formal maupun informal, terutama setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN dalam Rapat Paripurna menjadi Undang-Undang, Selasa (18/1/2022) lalu.
Pemindahan IKN dinilai kurang elok untuk dijalankan saat ini, terutama karena kondisi ekonomi Indonesia yang masih dalam proses pemulihan.
Ekonom Faisal Basri menilai bahwa lebih baik untuk selesaikan dahulu keadaan darurat Covid-19. “IKN jangan diutak-atik, selesaikan dulu keadaan darurat, ini yang terpenting,” ujarnya dalam diskusi Pengesahan RUU IKN Untuk Siapa?, Jumat (21/1/2022).
Hal tersebut menurutnya karena ada 134 juta atau 52,8% rakyat Indonesia yang masih tidak aman atau insecure, mereka miskin absolut, nyaris miskin, dan rentan miskin.
Tingkat pengangguran saat ini meningkat, yang diiringi dengan menurunnya kualitas pekerja.

“Orang miskin meningkat karena Covid-19, pengangguran meningkat diiringi dengan menurunnya kualitas pekerja. Jadi yang berkurang adalah pekerja tetap, buruh," ujarnya.
Yang meningkat adalah pekerja keluarga, pekerja sendiri, dan sebagainya, ini harus kita pulihkan,” imbuhnya.
Baca juga: Berikut Timeline Pembangunan IKN Nusantara dari 2022 Sampai 2045
Ada juga masalah learning loss yang karena tidak pernah bertemu dengan gurunya dan tidak punya kemewahan untuk menggunakan zoom, orang yang mengalami gangguan kejiwaan karena Covid-19, dan persoalan mengenai climate change.
“Artinya pembangunan ini untuk pembangunan rakyat dulu, sehingga ibu kota urusan yang bisa ditunda, setidaknya 5 tahun,” jelasnya.
Legislasi Terburu-Buru
Selain itu, pembahasan mengenai IKN ini masih dinilai sebagai salah satu proses yang tidak dilakukan dengan baik, salah satunya karena publik dinilai tidak dilibatkan secara penuh pada penyusunan Undang-Undang (UU) IKN dan juga pembuatannya dinilai tergesa-gesa.
Proses pembahasan UU IKN hanya berlangsung dalam satu minggu sebelum masa reses di masa sidang tahun lalu, dan satu minggu setelah masa reses di masa sidang saat ini.
Cepatnya masa pembahasan UU IKN juga dinilai karena mayoritas parlemen juga diisikan oleh orang-orang yang berada di satu gerbong oleh pemerintah. Faisal menilai hal tersebut juga akan menyebabkan tidak adanya check and balance kepada pemerintah saat ini.

“Sekarang yang dilakukan Pak Joko Widodo (Jokowi) adalah konsolidasi politik supaya dia bisa mewujudkan keinginannya agar leluasa, sekarang dari 30an persen (koalisi di parlemen) menjadi 80 persen. Jadi check and balances-nya lemah, ya itu akibatnya, dan indeks demokrasi kita juga turun,” katanya.