Sudah Dapat Banyak Proteksi, Industri Hulu Baja Indonesia Dinilai Masih Bergantung Pada Impor
Industri baja nasional pada dasarnya merupakan sektor bisnis yang memiliki karakter import processing industry
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri baja nasional pada dasarnya merupakan sektor bisnis yang memiliki karakter import processing industry yang artinya industri baja nasional akan mati jika tidak mendapat pasokan bahan baku baja impor.
"Dengan data dari BPS dapat dilihat hampir 50 persen industri nasional memperoleh bahan baku baja dari impor karena tidak dapat dipasok dari industri hulu baja nasional," ujar Cindar Hari Prabowo, pengusaha pengembang dan pemerhati perumahan rakyat di acara diskusi virtual terbatas membahas topik Industri Baja Terkini, Kamis (27/1/2022).
Baca juga: Volume Impor Baja Meningkat 23 Persen di 2021, Produsen Dalam Negeri Mengeluh
Menurut Cindar, total impor baja nasional dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama impor baja dengan tanpa Lartas ( Tanpa Pengendalian Pemerintah) seperti baja slab, billet dan biji ore .
Berdasarkan data, trennya menunjukkan kenaikan sejak beberapa tahun terakhir. Di tahun 2019 impor baja tanpa Lartas mencapai 4,7 juta ton dan di tahun 2021 impornya melonjak menjadi 5,22 juta ton atau naik 11 persen.
"Artinya industri hulu dalam negeri hanya asyik mengimpor bahan baku tersebut tanpa ada usaha yang sungguh sungguh membuat dengan berbagai alasan seperti furnacenya dengan teknologi terbatas. Bahkan ada yang tidak beroperasi, mereka juga beralasan jika memproses sendiri harganya mahal, mending impor," kritiknya.
Dia menambahkan, hal semacam ini sangat ironis mengingat industri baja nasional sudah banyak proteksi yang diberikan Pemerintah, baik melalui penentuan harga gas, BMAD, fiskal, hingga penyertaan modal negara atau PMN.
"Indonesia harus segera melakukan reformasi industri hulu baja nasional agar tidak terjadi hal-hal seperti teriak teriak banjir impor setiap tahun yang hanya modus untuk menutupi ketidakmampuannya di depan publik," imbuh Cindar.
Baca juga: Krakatau Steel Ekspor 27 Ribu Ton Baja ke Pakistan
Cindar menambahkan, impor baja jenis Lartas dengan pengendalian oleh Pemerintah menurut data BPS tahun 2021, justru mengalami pengendalian terukur. Data tahun 2019 menunjukkan, impor baja di lingkup Lartas sebanyak 7,89 juta ton dengan program subtitusi impor.
Impor baja lartas di 2021 hanya sebesar 6,35 juta ton atau turun sebanyak 19,5 persen. "Kita semua harus jujur kita acungkan jempol buat pemerintah," ungkapnya.
Dengan demikian, sambungnya ada peningkatan produksi baja dalam negeri yang menggeser kebutuhan baja impor mulai dari produk antara hingga produk turunan baja ini sangat mendongkrak investasi baja nasional.
"Kalau dilihat sebaran impor memang sangat ironis. Impor baja justru didominasi oleh produsen di sektor hulu dan antara. Baja gulungan canai panas (Hot Rolled Coil/HRC), baja gulungan canai dingin (Cold Rolled Coil/CRC), dan baja lapis mendominasi 71,6 persen dari total impor baja yang dikendalikan Pemerintah, oleh karena itu Cindar menilai ada ketidakmampuan baja di sektor hulu baja," jelasnya.
Para peserta diskusi berpendapat bahwa Industri baja sebagai mother of industry dan memiliki peran penting dalam kemajuan industri nasional. Karena, baja merupakan bahan baku bagi banyak industri, mulai dari konstruksi, permesinan, otomotif, elektronika, hingga peralatan rumah tangga.
Ekonom Iqbal melihat, pertumbuhan industri baja merupakan faktor kunci tumbuhnya industri lain pada suatu negara. Menurut Iqbal, industri baja di Indonesia sangat tergantung impor. Meskipun Indonesia mempunyai pabrik baja di Cilegon sejak tahun 1960, industri dalam negeri justru mengalami kekurangan bahan baku baja.
"Saya melihat produk-produk turunan baja dibutuhkan berbagai industri, mulai dari konstruksi, permesinan, otomotif, elektronika, hingga peralatan rumah tangga semuanya punya kontribusi ekonomi yang tinggi, namun jika industri hulu nasional tergantung impor tidak membuat sendiri, akan mempengaruhi neraca pembayaran nasional," ungkap Iqbal.
Dia melihat pemerintah telah berupaya untuk membenahi iklim usaha dengan menjaga keseimbangan pasok dan kebutuhan baja nasional, mulai dari kebijakan pengendalian impor hingga stimulus lain untuk meningkatkan penyerapan baja di dalam negeri.
Campur tangan Pemerintah tersebut terlihat dari kinerja industri baja nasional yang meningkat tajam selama dua tahun terakhir. Pada kuartal III tahun 2021, sektor industri baja tumbuh sebesar 9,82 persen.
Pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2019 sebesar 4,62 persen dan bahkan cukup sigifikan dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 3,51 persen belum lagi kinerja ekspor logam yang cukup bagus.
"Pertumbuhan industri baja juga didorong oleh pertumbuhan sektor penggunanya, utamanya sektor otomotif yang tumbuh sebesar 27 persen setelah Pemerintah memberikan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan produksi dalam negeri kategori tertentu," ungkap Iqbal.
"Masa pemulihan ekonomi Pasca Pandemi Covid-19 turut berkontribusi mendorong peningkatan kebutuhan baja," ujarnya.