Ongkos Subsidi Biodiesel Dinilai Sangat Tinggi, Tak Beri Penghematan
Kebijakan subsidi biodiesel mengulang kebijakan subsidi untuk solar dulu, yang ongkos keekonomiannya sangat tinggi.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri menilai dampak program biodiesel 30 persen (B30) yang dijalankan pemerintah, tidak terbukti dapat menghemat keuangan negara atau APBN.
Menurutnya, kebijakan subsidi biodiesel ini mengulang kebijakan subsidi untuk solar dulu, yang ongkos keekonomiannya sangat tinggi.
"Artinya, kebijakan subsidi ini hanya berpindah dari yang dulunya subsidi solar untuk produsen minyak luar negeri ke subsidi biodiesel untuk pengusaha biodiesel dalam negeri," kata Faisal saat launching dan bedah Buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat Dalam Bisnis Biodiesel, yang ditulis Selasa (1/2/2022).
Faisal menyebut, pemerintah bilang langkah penggunaan biodiesel untuk memperbaiki transaksi perdagangan dengan mengurangi impor solar, sehingga neraca perdagangannya membaik.
Baca juga: Produksi Biodiesel Tahun 2022 Ditargetkan Mencapai 10,15 Juta Kiloliter
Namun, kata Faisal, kebijakan tersebut salah karena pengurangan impor solar dengan digantikan dengan biodiesel maka ekspor CPO juga turun dan dampaknya ini perlu dihitung.
Baca juga: Penggunaan Biodiesel Diklaim Bisa Hemat Devisa Rp 176 Triliun
Faisal juga mempersoalkan klaim pengusaha yang menilai dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) merupakan dana dari pengusaha sawit lewat potongan ekspor dan harus dikelola pengusaha.
Menurut Faisal, klaim ini sesuatu yang sangat aneh, seolah-olah ada negara di dalam negara.
Baca juga: Ekonom Faisal Basri Bilang, Skema Program Biodiesel di Indonesia Mengerikan Sekali
"Sebanyak 40 persen dari dana sawit itu justru dari sawit rakyat, oleh karena itu harus ada ketidakterwakilan petani secara resmi dalam struktur BPDPKS, untuk mengarahkan kepada program peremajaan sawit dan program lainnya," tuturnya.
Penulis buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat dalam Bisnis Biodiesel, Ferdy Hasiman menyampaikan, salah satu inti persoalan yang terjadi dalam program biodiesel terdapat pada sisi pembagian kuota yang menunjukkan terjadinya kolusi.
"Industri sawit berbeda dengan industri besar lainnya, dimana monopoli perusahaan besar tidak terlalu besar," ucapnya.
Dari aspek kepemilikannya lahan, kata Ferdy, sebesar 51 persen dimiliki grup - grup besar nasional dana asing dan 7 persenBUMN, kemudian 40 persen lahan dimiliki petani sawit.
Menurutnya, jika diperhatikan secara keseluruhan, perkebunan sawit rakyat bisa menjadi tumpuan penerimaan negara dan menjadi penopang disektor hilir dalam mendorong biodiesel berkelanjutan.
"Sehingga sawit untuk pengolahan biodiesel semestinya bukan hanya dipasok dari produsen-produsen biodiesel yang sudah ditentukan kuotanya oleh negara tetapi juga dari petani swadaya," ujar Ferdy.