Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Diduga Ada Kartel Minyak Goreng, YLKI Buat Petisi di Change.Org, KPPU Panggil Pengusaha Sawit

Hingga saat ini, meski pemerintah telah menetapkan harge eceran tertinggi (HET) namun justru minyak goreng langka di pasaran.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Diduga Ada Kartel Minyak Goreng, YLKI Buat Petisi di Change.Org, KPPU Panggil Pengusaha Sawit
Warta Kota/Henry Lopulalan
Warga mengantre untuk membeli minyak goreng dengan harga Rp 10.500 per liter di pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (3/3/2022). Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menetapkan ketentuan baru harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng yaitu Rp 11.500/liter untuk kemasan curah, Rp 13.500/liter untuk kemasan sederhana, dan Rp 14.000/liter untuk kemasan premium. (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) akhirnya menggelar petisi di change.org untuk mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengusut dugaan kartel minyak goreng.

Hingga saat ini, meski pemerintah telah menetapkan harge eceran tertinggi (HET) namun justru minyak goreng langka di pasaran.

YLKI pun menduga terjadinya kartel minyak goreng.

Di laman Change.org, seperti dikutip Kontan, YLKI membuat petisi bertajuk "Langka dan Harganya Mahal, Usut Tuntas Dugaan Kartel Minyak Goreng!".

Baca juga: Mendag Pastikan Harga Minyak Goreng di Pasar Sesuai HET dalam Beberapa Hari ke Depan

Hingga Jumat (4/2/2022) pukul 13.23 WIB, petisi tersebut sudah ditandatangani 154 orang.

Dalam pengantar petisi di change.org, YLKI menyebut kalau kita pergi ke minimarket, mungkin stok minyak goreng bakal kosong dan ludes. Kalau ke pasar tradisional, harga minyak melambung tinggi sekali.

"Bikin bingung banget, ya. Kenapa bisa, negara penghasil minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia, tapi masyarakatnya enggak bisa membeli minyak goreng sawit dengan harga yang lebih terjangkau dan tidak ada gangguan pasokan?" tanya YLKI.

Berita Rekomendasi

Menurut YLKI, bisa jadi, ini ada sebuah praktik usaha tidak sehat yang menyebabkan harga minyak goreng jadi tinggi sekali. Struktur pasar minyak goreng terdistorsi oleh para pedagang besar CPO dan minyak goreng.

Baca juga: Indikasi Kartel Minyak Goreng Terus Diusut, KPPU Akan Mintai Keterangan Empat Pemain Besar

YLKI menyebut, KPPU sempat bilang kalau hanya ada 4 perusahaan yang menguasai perdagangan minyak goreng di Indonesia.

Bukan tidak mungkin, keempat perusahaan ini melakukan praktik kartel, bersekongkol menentukan harga bersama, supaya harga minyak goreng jadi mahal sekali.

Walaupun ini masih dugaan, tetapi fenomena di pasar mengindikasikan dengan kuat.

Lewat petisi ini, YLKI, meminta agar KPPU segera mengusut sampai tuntas (menginvestigasi) dugaan kartel minyak goreng ini, sebagaimana dimandatkatkan oleh UU Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

Kalau benar ada kartel atau bentuk persaingan tidak sehat lainnya pada produk minyak sawit, KPPU dan pemerintah harus tegas dalam memberikan sanksi hukum (perdata, pidana, dan administrasi).

Baca juga: Harga Minyak Goreng Masih Mahal, Pemkab Malang Bantah Ada Penimbunan Stok

"Jangan segan segan untuk mencabut izin ekspor mereka, supaya bisa memprioritaskan konsumsi domestik. Atau bahkan mencabut izin usahanya," sebut YLKI.

KPPU Mengusut

Pengusutan dugaan terjadinya kartel pada usaha minyak goreng terus dilakukan.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai besok, Jumat (4/2/2022) akan memanggil para pengusaha minyak goreng untuk dimintai keterangan.

Ketua KPPU RI Ukay Karyadi mengatakan, adanya indikasi praktik kartel yang menyebabkan melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu.

"Kita menemukan empat pemain besarnya. Nah, perusahaan-perusahaan tersebut mulai besok oleh KPPU akan dipanggil terkait indikasi kartel," ujar Ukay Karyadi dalam diskusi media virtual, Kamis (3/2/2022).

Ukay memaparkan, berdasarkan catatanya ada 74 perusahaan di industri minyak goreng yang tergabung di dua asosiasi yakni GIMNI dan AIMI.

Namun jika dikerucutkan lagi, hanya ada sekitar 30 perusahaan dan ada 4 hingga 5 perusahaan yang menguasai pasar.

"Di hulunya mereka menguasai, di hilirnya mereka menguasai.

Tapi, mereka tetap mengacu pada harga internasional. Hal ini karena mereka yakin, jika harga dinaikkan, minyak goreng akan tetap laku di pasaran karena permintaan terhadap minyak goreng ini cenderung elastis," kata Ukay.

Baca juga: Perjuangan Misnati untuk Dapatkan Minyak Goreng, Rela Antre Berjam-jam Sejak Pagi

Ukay menambahkan, hal yang menjadi perhatian KPPU yaitu pabrik minyak goreng ternyata terintegrasi dengan kebun sawit milik para pengusaha tersebut.

Selain itu, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan.

Padahal kata dia, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.

Oleh sebab itu, Ukay berharap agar pelaku usaha datang saat dimintai keterangan oleh KPPU.

"Mereka yang merasa tidak bersalah, bisa mengatakan tidak terbukti melanggar persaingan usaha yang sehat (kepada KPPU)," kata Ukay.

Langka di Pasar

Hari pasca penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng oleh Kementerian Perdagangan, stok minyak goreng masih langka di beberapa daerah.

Di Pasar Tumpah Sukawati Gianyar Bali misalnya, harga minyak goreng kemasan 900 ml dijual Rp 13.000 – Rp 14.000.

Sebagian besar pedagang masih memiliki stok minyak goreng dengan harga lama, yakni Rp 38.000 untuk minyak goreng kemasan 2 liter.

Pedagang di pasar ini menuturkan masih kesulitan mendapatkan harga minyak goreng sesuai aturan pemerintah dari produsen.

Pedagang pun mengaku banyak pelanggan yang akhirnya beralih membeli minyak goreng di toko ritel.

Di Pasar Tradisional Podosugih, Kota Pekalongan, pedagang juga masih menjual dengan harga diatas harga eceran tertinggi alias lebih dari Rp 14.000, para pedagang masih menjual dengan harga Rp 18.000 – Rp 20.000 untuk minyak stok lama.

Sedangkan minyak dengan stok baru dijual dengan harga Rp 15.000.

Baca juga: Kebakaran dan Dugaan Penimbunan Minyak Goreng di Ciracas, Polisi Periksa Saksi, Undang Puslabfor

Pedagang beralasan mereka mendapatkan minyak tersebut dari distributor seharga Rp 14.000 per liter maka dengan dijual Rp 15.000, sehingga mereka akan dapat untung Rp 1.000.

Pernyataan Pemerintah

Selama kurun waktu tiga bulan lebih, lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri melesat tanpa kendali.

Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi. Meroketnya harga minyak goreng di Indonesia ini jadi ironi, mengingat pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah.

Bahkan tercatat jadi negara penghasil CPO terbesar di dunia. Secara umum, harga minyak goreng berada di kisaran Rp 19.000 per liter, bahkan di beberapa daerah harganya sudah melambung di atas Rp 20.000 per liter.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah menggelontorkan duit subsidi yang mengalir ke produsen hingga Rp 3,6 triliun, namun minyak goreng subsidi yang dibanderol Rp 14.000 per liter justru sulit ditemui di pasaran.

Terkait persoalan minyak goreng ini, diasumsikan pula karena adanya kartel mafia yang bermain.

Dalam hal ini, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan, di Kemendag tidak melihat adanya indikasi kartel dari masalah tingginya harga minyak goreng.

“Soal kartel nanti KPPU yang menindaklanjuti kalau itu memang ada. Namun, pemerinah pada posisi tidak meneliti itu.

Fokusnya, saat ini segera mengambil kebijakan untuk menyiapkan harga minyak goreng murah bagi masyarakat,” ujarnya dalam acara Sapa Malam Indonesia Malam Kompas TV dikutip pada Rabu (2/2/2022).

Lebih jauh, Oke Nurwan menjelaskan, permasalahan ini terjadi karena adanya salah tafsir dari pelaku usaha kelapa sawit yang menerapkan harga lelang di PT Karisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) sesuai harga Domestic Price Obligation (DPO) yakni, Rp 9.300 per kilogram.

Harga tersebut adalah harga jual CPO untuk 20 persen kewajiban pasok ke dalam negeri dalam rangka penerapan DMO.

Kebijakan DMO dan DPO tersebut disalahartikan oleh beberapa pelaku usaha sawit yang seharusnya membeli CPO melalui mekanisme lelang yang dikelola KPBN dengan harga lelang, namun mereka melakukan penawaran dengan harga DPO.

Hal tersebut yang akhirnya membuat kekacauan di antara petani sawit. Padahal, seharusnya pembentukan harga tetap mengikuti mekanisme lelang di KPBN tanpa melakukan penawaran harga sebagaimana harga DPO.

“Eksportir itu harus membeli dengan harga wajar, tapi 20 persen yang dibelinya itu harus disalurkan ke industri minyak goreng, baik dalam bentuk CPO maupun Palm Olein dengan harga yang ditetapkan pemerintah,” jelas Oke Nurwan. (Kontan/KompasTv/Kompas.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas