Jaga Permodalan Negara, Putin Izinkan Perusahaan Rusia Bayar Obligasi Dengan Rubel
Putin berharap adanya pembayaran obligasi menggunakan mata uang rubel diharapkan dapat mengantisipasi adanya gagal bayar pada investor asing di Rusia
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, MOSCOW – Demi menjaga roda perekonomian negara, Presiden Rusia Vladimir Putin pada Sabtu (5/3/2022), resmi mengeluarkan kebijakan khusus yang mengatur pembayaran obligasi pada investor asing dalam mata uang rubel.
Keluarnya kebijakan tersebut, sejalan dengan adanya tekanan dari sanksi ekonomi global yang dijatuhkan pada Rusia setelah invasinya ke Ukraina.
Sanksi inilah yang kemudian membuat para investor asing yang menjalin kerjasama dengan Rusia tak lagi dapat melakukan transaksi internasional.
Baca juga: Australia Sindir Sikap Hening China Terkait Invasi Rusia ke Ukraina
Guna menjaga pasar permodalan negara karena adanya kegagalan pembayaran dalam obligasi, pemerintah Rusia akhirnya meresmikan kebijakan tersebut.
Nantinya dalam kebijakan tersebut para investor atau perusahaan asing yang bermukim di Rusia diwajibkan untuk menggunakan mata uang rubel, dalam melakukan setiap transaksi pembayaran kreditur asing atau obligasi.
Putin mengungkap adanya pemberlakuan kebijakan ini sengaja ditujukan agar bisa menjaga roda perekonomian Rusia akibat imbas dari remisi atas penggunaan mata uang asing yang dikhawatirkan dapat membatasi kemampuan pemegang obligasi untuk menerima pembayaran bunga dan pokok.
Terlebih saat lembaga kliring atau pertukaran mata uang global seperti Clearstream dan Euroclear telah memblokir rubel sebagai alat pembayaran internasional.
Dalam pelaksanaanya, para debitur diwajibkan untuk membuat akun khusus "C" berdenominasi rubel atas nama kreditur asing.
Baca juga: Invasi Rusia ke Ukraina Bisa Memicu Bencana Pangan Global
Nantinya aturan ini tak diterapkan pada setiap investor, hanya transaksi dengan jumlah lebih dari 10 juta rubel atau setara dengan 81,358 dolar AS lah yang akan dibebani oleh peraturan dekrit ini.
Menurut data Depository Trust & Clearing Corp yang dikutip dari Fortune pada 16 Maret mendatang rencananya Rusia akan menerima 117 juta dolar AS atas obligasi dolar yang jatuh tempo.
Perusahaan yang akan membayarkan obligasi tersebut diantaranya Perusahaan minyak negara Rosneft PJSC, sebesar 2 miliar dolar AS. Disusul raksasa energi Gazprom PJSC dengan obligasi senilai 1,3 miliar dolar AS.
Putin berharap adanya pembayaran obligasi menggunakan mata uang rubel diharapkan dapat mengantisipasi adanya gagal bayar pada investor asing di Rusia.
Dengan begini perekonomian negara beruang merah tersebut dapat terhindar dari risiko credit default swap (CDS) yang berpotensi membuat merosotnya nilai obligasi negara.