PPN Naik 1 Persen, Dampaknya Bikin Harga Barang Meroket
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) berlaku mulai 1 April 2022
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, dampak kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 11 persen mulai April 2022, bukan hanya secara langsung bisa meningkatkan harga barang yang dikonsumsi masyarakat.
Namun, dampaknya juga secara psikologis yakni bisa meningkatkan harga jauh lebih tinggi daripada 1 persen kenaikan tarif PPN.
"Jadi, kalau tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, bisa jadi secara riil bikin kenaikan inflasi barangnya di atas angka 1 persen," ujarnya melalui pesan suara kepada Tribunnews.com, Rabu (23/3/2022).
Baca juga: PPN Naik Menjadi 11 Persen Mulai 1 April 2022 dan Akan Naik Lagi di 2025
Karena secara psikologis juga, produsen dinilainya sudah mengalami tekanan biaya produksi sejak akhir 2021, sehingga memanfaatkan situasi kenaikan PPN untuk menyesuaikan harga di level konsumen.
"Dengan demikian, mereka bisa mempertahankan margin keuntungannya. Apalagi berkaitan dengan momentum Ramadan, di mana permintaan biasanya naik tinggi," kata Bhima.
Dia menambahkan, soal PPN ini berarti kenaikan berdampak ke seluruh barang, kecuali yang yakni beras atau beberapa kebutuhan pokok lainnya.
"Namun yang lainnya, misalkan kendaraan bermotor, restoran, bahkan iklan di sosial media dan gadget itu semua PPN-nya naik dari 10 persen menjadi 11 persen," pungkasnya.
![Ilustrasi pajak](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/ilustrasi-pajak_20170306_223753.jpg)
PPN Naik Mulai 1 April 2022
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) berlaku mulai 1 April 2022. Adapun, perubahan tarif PPN adalah dari 10% menjadi 11%.
Meski tinggal menghitung hari, rupanya hingga kini aturan turunan PPN ini masih belum juga keluar. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengaku, saat ini pemerintah masih dalam proses penyusunan.
“Masih dalam proses. Kita tunggu, ya. Kalau sudah ada (aturan turunannya) kami info,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor kepada Kontan.co.id, Selasa (22/3).
Kenaikan tarif PPN ini sebenarnya menjadi sorotan berbagai banyak pihak, termasuk para ekonom dan pelaku usaha. Kekhawatirannya, ini akan menjadi beban bagi masyarakat dan menekan daya beli masyarakat.
Baca juga: Analis: PPN Naik Jadi 11 Persen Menggerus Nilai Rupiah dan Daya Beli
Belum lagi, akan ada ancaman peningkatan inflasi karena peningkatan harga-harga barang tersebut.
Akan tetapi, Sri Mulyani memastikan peningkatan PPN ini tidak akan menjadi beban bagi masyarakat, terutama menengah ke bawah. Bahkan, ia melihat ini bisa menadi bantalan ekonomi bagi penduduk miskin.
Hasil pendapatan pajak yang masuk ini nantinya akan digunakan untuk pembangunan dan tentu saja rakyat yang akan menikmati hasilnya, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, bahkan subsidi listrik dan subsidi energi lainnya.
Pembangunan ini juga tak hanya dirasakan pada saat ini saja, tetapi akan dirasakan oleh generasi-generasi ke depan sehingga banyak yang akan merasakan manfaatnya.
PPN Naik Jadi 11 Persen Menggerus Nilai Rupiah dan Daya Beli
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, inflasi masih jadi ancaman pemulihan ekonomi dunai, termasuk Indonesia.
Menurut dia, tidak cukup kenaikan harga komoditas imbas perang, rencana kenaikan PPN menjadi 11 persen yang akan diterapkan pada 1 April 2022 dapat mengerek naik tingkat inflasi dalam negeri.
"Pada akhirnya dirasakan langsung dampaknya di masyarakat, mulai dari tergerusnya nilai mata uang hingga menekan daya beli," ujar dia melalui risetnya, Selasa (22/3/2022).
Dia mempertanyakan ketepatan waktu untuk menaikkan tarif PPN, karena di waktu bersamaan, objek pajak baru yaitu pajak karbon turut diberlakukan.
Baca juga: PPN Naik Menjadi 11 Persen Mulai 1 April 2022 dan Akan Naik Lagi di 2025
"Di mana, pajak tersebut dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Tarif pajak karbon yang dikenakan sebesar Rp 30 per ton Co2 atau setara yang akan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," kata Nico.
Pajak karbon ini akan dikenakan pada saat pembelian barang yang mengandung karbon dan sebagai tahap awal akan dikenakan pada sektor usaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Di tengah gejolak harga komoditas, Nico menilai waktunya memang belum tepat untuk menaikkan tarif pajak baik PPN maupun pajak karbon.
Hal ini bukan hanya membebani masyarakat, tapi juga para pelaku usaha yang kemungkinan besar dalam masa pemulihan aktivitas bisnis dan neraca keuangan pasca pandemi.
Di sisi lain, rencana kenaikan pajak berpotensi semakin mendorong tren positif penerimaan negara.
"Intervensi pemerintah dan kejadian luar biasa seperti krisis energi dan konflik Rusia-Ukraina mempercepat laju pemulihan ekonomi dalam negeri. Hal tersebut membawa target defisit anggaran maksimal sebesar 3 persen pada 2023 berpotensi tercapai, mengingat pada 2021, defisit anggaran sudah bisa ditekan hingga di bawah 5 persen," pungkasnya.
Berpotensi Munculnya Orang Miskin Baru
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, dampak kenaikan PPN jadi 11 persen mulai April 2022 cukup kompleks.
Sebab, jika terjadi kenaikan tarif PPN, tapi tidak disertai perbaikan pendapatan masyarakat yang signifikan, maka bisa jadi ini akan menggerus daya beli masyarakat.
Baca juga: PPN Naik Menjadi 11 Persen Mulai 1 April 2022 dan Akan Naik Lagi di 2025
"Karena itu, mereka yang masuk dalam kategori kelas menengah tanggung, bisa jadi orang miskin baru akibat kebijakan pajak yang agresif," ujarnya melalui pesan suara kepada Tribunnews.com, Rabu (23/3/2022).
Selain itu, dampaknya buat masyarakat kelas menengah kalau ada kenaikan PPN adalah berarti mereka harus melakukan penghematan untuk belanja-belanja yang tidak mendesak.
"Kemudian, juga mereka akan mencari produk yang jauh lebih terjangkau harganya, meskipun harus mengorbankan kualitas ataupun kuantitas dari produk itu," kata Bhima.
Sementara dari sisi produsen barang, dia menilai, kemungkinan mereka akan menaikkan harga barang lebih dari 1 persen karena tertekan biaya produksi sejak pandemi.
"Jadi di sini, produsen memanfaatkan momentum ini, sehingga dampak psikologis harus dimitigasi karena kenaikannya bisa lebih dari 1 persen sebenarnya secara riil di masyarakat," pungkasnya.