AS Minta Rusia Dikeluarkan dari G20, Janet Yellen Ancam Boikot Pertemuan di RI Bila Putin Datang
Menkeu AS Janet Yellen, mengatakan Rusia harus dikeluarkan dari forum Kelompok 20 ekonomi utama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan berencana menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Indonesia pada Desember 2022.
Semenjak invasi Rusia ke Ukraina, rencana kehadiran Rusia ke G20 ini ditentang Amerika Serikat (AS) dan sekutu AS.
Sebelumnya, undangan untuk tanggal KTT G20 2022 dikirim ke semua negara anggota (termasuk Rusia) pada 22 Februari atau dua hari sebelum invasi Rusia ke Ukraina dimulai.
Baca juga: AS Jatuhkan Sanksi kepada Dua Putri Vladimir Putin, Dituding Sembunyikan Harta Sang Ayah
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mengatakan Rusia harus dikeluarkan dari forum Kelompok 20 ekonomi utama, dan Amerika Serikat akan memboikot "sejumlah pertemuan G20" di Indonesia jika pejabat Rusia muncul.
Komentarnya itu muncul pada rapat dengan Komite Jasa Keuangan DPR AS Rabu (06/4) dan ini menimbulkan pertanyaan tentang peran masa depan G20 setelah invasi Rusia ke Ukraina.
"Presiden Biden menjelaskan, dan saya tentu setuju dengannya, bahwa Rusia tidak bisa menjadi mitra bisnis seperti biasa di lembaga keuangan mana pun," kata Yellen dalam menanggapi sebuah pertanyaan, seperti dikutip Reuters.
Baca juga: POPULER Internasional: 2 Putri Putin Terancam Sanksi AS | Kekacauan Akibat Lockdown di Shanghai
"Dia meminta agar Rusia dikeluarkan dari G20, dan saya telah menjelaskan kepada rekan-rekan saya di Indonesia bahwa kami tidak akan berpartisipasi dalam sejumlah pertemuan jika Rusia ada di sana," lanjut Yellen.
Indonesia tahun ini memimpin G20 dan menjadi tuan rumah pertemuan keuangan pada bulan Juli dan pertemuan puncak para pemimpin pada bulan November. Rusia sudah menyatakan Presiden Vladimir Putin ingin hadir di KTT G20 nanti.
Seorang juru bicara Departemen Keuangan AS kemudian mengatakan bahwa Yellen mengacu pada pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 pada 20 April di sela-sela Pertemuan Musim Semi IMF dan Bank Dunia di Washington dan pertemuan deputi terkait.
Pertemuan keuangan April nanti akan diadakan secara langsung dan virtual dan partisipasi Rusia belum jelas untuk saat ini.
Indonesia diminta lancarkan lobi khusus
Sebelumnya, pemerintah Indonesia diminta melakukan lobi politik khusus untuk meyakinkan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, agar menghadiri pertemuan G-20 di tengah seruan kencang memboikot acara itu jika Presiden Rusia, Vladimir Putin, datang.
Seorang pengamat hubungan internasional mengatakan tanpa kehadiran pemimpin negara Barat ataupun Rusia, maka pertemuan tersebut akan sulit menghasilkan solusi menyusul kacaunya perekonomian dunia akibat pandemi dan perang.
Adapun pemerintah Indonesia tetap pada sikapnya untuk tidak memihak dan pertemuan di Bali itu ditujukan pada pemulihan ekonomi global yang menjadi prioritas penduduk dunia saat ini.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hariyadi Wirawan, menilai Indonesia berada dalam situasi sulit karena berada di antara tarik-menarik kepentingan negara Barat yang menentang kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan G-20 serta menyerukan untuk memboikot acara itu jika Putin benar-benar datang.
Baca juga: Jokowi Marahi Menteri & Perintahkan Setop Wacana Penundaan Pemilu, Jubir: Pak Luhut Pasti akan Patuh
Namun sebagai tuan rumah acara, kata dia, Indonesia sudah semestinya mengundang semua negara anggota G-20 tanpa terkecuali, terlepas dari perseteruan politik yang terjadi akibat perang di Ukraina.
Itu mengapa sikap pemerintah yang netral dianggap tepat.
Sebaliknya, jika para pemimpin negara Barat menolak hadir ke KTT, maka hal itu sama saja menghina Indonesia.
"Kita tidak bisa menolak kehadiran Presiden Putin karena itu artinya memihak Barat. Dan karena Indonesia mengundang Putin bukan diartikan kita pro-Rusia.
"Jadi saya harap Indonesia berpegang teguh pada pendiriannya yang bebas aktif dan bahwa pertemuan ini untuk membincangkan masalah-masalah ekonomi dunia," ujar Hariyadi Wirawan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (27/3).
Baca juga: Oligarki Rusia Merana, Aset dan Keluarganya ikut Jadi Target Sanksi Barat, Ini Daftarnya
"Mereka bertarung silakan, tapi Indonesia membuat jarak yang sama dengan mereka. Karena itu kita tidak akan bisa di bawah tekanan Barat untuk menghalangi kehadiran Putin."
Menurut Hariyadi pemerintah Indonesia harus bisa membujuk negara-negara Barat dan Rusia untuk tetap datang dengan argumentasi bahwa pertemuan ini jauh lebih penting dari apa yang terjadi di Ukraina.
Pasalnya pemulihan ekonomi dunia mustahil terwujud tanpa Rusia.
"Pertemuan ini didesain bukan untuk berkelahi secara politik. Tapi membicarakan ekonomi global."
Apa yang bisa dilakukan Indonesia?
Suara senada disampaikan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasional Demokrat, Muhammad Farhan.
Ia mengatakan keberhasilan Indonesia sebagai tuan rumah KTT G-20 dinilai dari hadirnya seluruh kepala negara.
"Satu saja tidak datang, Indonesia gagal menjadi tuan rumah," ujar Farhan.
Di sisi lain prinsip kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif sudah saatnya diterapkan dan ditunjukkan kepada dunia.
Dalam situasi seperti ini, kata Farhan, pemerintah Indonesia harus menunjukkan dirinya memiliki posisi yang setara dengan negara lain.
Sehingga negara-negara Barat maupun Rusia harus menghormati keputusan Indonesia.
"Nah ini yang kemudian akan dilihat oleh rakyat Indonesia terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi."
Kata Farhan, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghadirkan semua kepala negara G-20 pada November mendatang.
Pertama, dengan lobi politik personal.
Indonesia, klaimnya, memiliki tiga tokoh yang sangat dekat dengan kalangan pembuat keputusan di Amerika Serikat.
Seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani, Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu, dan Duta Besar Indonesia untuk AS Rosan Roeslani.
"Ketiga orang ini saya harap bisa dimanfaatkan Presiden Jokowi untuk melakukan lobi tingkat tinggi terhadap pihak-pihak pembuat keputusan di AS."
Kedua yakni mengajak dan melibatkan negara lain di G-20 seperti Arab Saudi, Brasil, dan India untuk bisa meyakinkan negara-negara Barat dan AS serta Rusia untuk mengesampingkan perseteruan politik mereka.
"Indonesia dan negara lain bisa menjadi penegah demi mencegah terjadinya hiper-inflasi di dunia akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan gas."
"Dua kartu as itu bisa dimainkan Indonesia."
Farhan juga menilai waktu delapan bulan cukup untuk mengatasi persoalan ini. Apalagi kalau eskalasi perang di Ukraina menurun dan ditambah lahirnya solusi dari PBB.
Itu mengapa ia menyarankan pemerintah Indonesia untuk tidak mengabulkan keputusan atau permintaan apapun dari kedua belah pihak.
Bagaimana sikap Indonesia?
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan Indonesia sebagai ketua G-20 tahun ini tidak memihak.
Hal itu dinyatakan di tengah seruan Perdana Menteri Australia Scott Morrison agar Presiden Rusia Vladimir Putin tidak diundang dan supaya Rusia dikeluarkan dari forum itu seperti yang disampaikan Presiden AS Joe Biden.
"Sebagai presidensi tentunya dan sesuai dengan presidensi-presidensi sebelumnya adalah mengundang semua anggota G20," kata Staf Khusus Menlu bidang Penguatan Program-program Prioritas Kemenlu dan Co-Sherpa G20 Indonesia, Dian Triansyah Djani.
Ia menambahkan Indonesia dalam mengetuai berbagai konferensi suatu forum dan organisasi berpegang pada aturan yang berlaku, dan tidak terkecuali di G-20.
"Oleh karena itu memang kewajiban untuk presiden G20 untuk mengundang semua anggotanya," katanya.
KTT G-20, sambungnya, akan dipusatkan pada pemulihan ekonomi global yang menjadi prioritas penduduk dunia saat ini.
Presiden Putin, kata duta besarnya di Jakarta, Lyudmila Vorobieva, mengatakan telah menerima undangan dari Indonesia dan berkeinginan hadir di Bali pada November mendatang.
Disinggung mengenai desakan agar Rusia dikeluarkan dari G-20, Vorobieva mengatakan hal itu tidak membantu mengatasi masalah ekonomi global.
Dia mendesak Indonesia, yang tahun ini memimpin G20, untuk tidak terombang-ambing oleh tekanan dari negara-negara Barat.
Dino Patti Djalal Ingatkan Kemungkinan ‘Faktor X’ yang Ubah Kalkulasi Politik di G20
Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia (Wamenlu RI) periode 2014, Dino Patti Djalal mengingatkan ‘faktor X’ yang mungkin bisa merubah kalkulasi politik di G20.
Hal ini mengingat masih ada beberapa bulan sebelum penyelenggaraan KTT G20 di Bali mendatang.
“Jangan lupa G20 masih 8 bulan lagi, jadi masih ada kemungkinan munculnya faktor X, yang belum kita ketahui wujudnya, namun bisa mengubah kalkulasi politik di G20,” kata Dino dalam sebuah video, Minggu (3/4/2022).
Namun, Dino berharap kemunculan faktor X ini adalah hal yang positif, bukan hal yang negatif.
Ia juga mengingatkan agar posisi Indonesia harus bergradasi di kondisi dunia yang amat cair seperti sekarang ini.
Direktur FPCI itu setuju Indonesia tidak memihak dalam menanggapi geopolitik Rusia – Ukraina yang semakin keras.
Tapi menurutnya, Indonesia juga harus lugas menentang aksi yang dilakukan Rusia di Ukraina.
Karena menurutnya apa yang telah dilakukan Rusia telah melanggar kedaulatan dan kemerdekaan Ukraina, serta menginjak-injak hukum internasional.
“Ini perlu secara jelas disampaikan, baik dengan cara multilateral (yang sudah dilakukan Indonesia di PBB). Dan juga secara bilateral, ini belum dilakukan Indonesia terhadap Rusia,” katanya.
Dino mengingatkan kembali, Indonesia memiliki kepentingan menjaga keutuhan G20.
Sehingga Indonesia harus berupaya agar KTT G20 bisa produktif dan menghasilkan kesepakatan yang bermanfaat bagi ekonomi dunia dan Indonesia sendiri.
“Di dunia internasional, Indonesia selalu menampilkan diri sebagai ‘bridge-builder’, inilah tantangan terbesar bagi Indonesia. Apakah kita bisa menjembatani berbagai posisi yang banyak saling bertentangan dalam situasi yang sangat panas dewasa ini. Inilah saatnya diplomasi Indonesia berkibar,” ungkap Dino.
Sebagian artikel ini sudah tayang di BBC Indonesia