Dana Mengendap di Bank Tembus Rp 202 Triliun, Ini yang Mesti Dilakukan Pemda
Diantaranya, pertama, Pemerintah Pusat (pempus) harus menentukan target kinerja output pemda setiap tahunnya.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWSCOM, JAKARTA -- Simpanan dana milik Pemerintah daerah di bank sudah tembus Rp 202,35 triliun hingga Maret 2022.
Dana tersebut menumpuk karena lambatnya belanja modal yang dilakukan oleh pemda.
Untuk mengurangi dana pemda yang menumpuk, salah satu upaya yang sedang dilakukan pemerintah adalah dengan percepatan belanja modal untuk menyerap Produksi Dalam Negeri (P3DN) atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan minimal serapannya 40%.
Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Arman Suparman mengatakan, kewajiban pemda untuk mengalokasikan 40% anggaran belanja barang dan jasa untuk penggunaan produk usaha kecil, salah satu upaya yang efektif untuk mengurangi dana pemda yang menumpuk di bank.
Baca juga: Dana Pemda Mengendap di Bank Semakin Membengkak, Anggaran Perjalanan Dinas ASN Meroket
Akan tetapi, menurutnya upaya tersebut akan berhasil jika dilakukan dengan serangkaian upaya lainnya secara bersamaan.
Diantaranya, pertama, Pemerintah Pusat (pempus) harus menentukan target kinerja output pemda setiap tahunnya.
“Ini dilakukan karena tidak gampang untuk memenuhi kuota (40%) minimal setiap tahunnya.
Jadi ada target-target yang perlu dibuat oleh pemerintah pusat agar diikuti pemerintah daerah,” tutur Arman kepada Kontan.co.id, Kamis (5/5).
Kedua, target belanja produk UMKM minimal 40% tersebut harus juga diikuti dengan perbaikan dari sisi proses perencanaan dan penganggaran belanja produk tersebut.
Baca juga: Menkeu Ungkap Alasan Pemda Lelet Gunakan APBD Hingga Dana Daerah Yang Mengendap Capai Rp 226 Triliun
Hal ini karena, selama ini penyerapan anggaran yang rendah dan juga proses serapan yang menumpuk di akhir tahun, disebabkan proses perencanaan dan juga penganggaran yang juga terlambat.
Sehingga, karena keterlambatan dalam menentukan teknis operasional pemda, dana pemda baru mulai dicairkan awal semester kedua sampai akhir atau kuartal III-IV.
“Hal ini yang menjadi penyakit tahunan, dana menumpuk di awal dan baru dibelanjakan di akhir,” kata Arman.
Untuk itu, lanjut Arman, tidak berarti pemerintah pusat hanya mengarahkan pemda untuk membelanjakan dananya untuk UMKM saja, tetapi juga ada mengarahkan pemda untuk melakukan perbaikan dari sisi perencanaan dan penganggaran, mulai dari sisi alur sampai penyusunan teknis operasional pengadaan barang dan jasa tersebut.
Ketiga, target belanja produk UMKM minimal 40%, akan sangat efektif jika diikuti dengan adanya pembinaan terhadap UMKM itu sendiri.
Artinya produk yang dihasilkan UMKM baik dari sisi kualitas dan kuantitas, harus dipastikan memenuhi syarat yang diharapkan dari program yang dijalankan pemda.
“Tiga hal tersebut wajib diperhatikan pemerintah pusat, meskipun proses transisinya pasti tidak berlangsung sangat cepat.
Karena sebagaimana amanat UU HKPD, belanja pegawai maksimal 30%, dan selama ini itu pekerjaan yang berat bagi pemda untuk menyesuaikan itu, sehingga diberi batas transisi 5 tahun ke depan,” jelasnya.
Adapun, menurut Arman, agar masa transisi tersebut bisa dipenuhi pemda, pemerintah pusat harus memberi target belanja tertentu kepada pemda dalam setiap tahunnya. Menurutnya tidak bisa langsung terserap sebanyak 40%.
“Ini perlu bertahap yang dilakukan pemda, tetapi pemda juga harus dipaksa memenuhi target kinerja output dari pemerintha pusat,” tegasnya.
Lebih lanjut, agar target belanja yang diberikan kepada pemda lebih efektif, Arman menyarankan pemerintah pusat memberikan penghargaan, ataupun hukuman yang akan diterima oleh pemda jika tidak memenuhi target yang diberikan. (Siti Masitoh/Noverius Laoli)
Sumber: Kontan