Harga TBS Petani Anjlok, Pemerintah Diminta Evaluasi Larangan Ekspor CPO
Para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit mendesak pemerintah untuk mengevaluasi larangan ekspor Crude Palm Oil
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit mendesak pemerintah untuk mengevaluasi larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunan minyak sawit termasuk olein (minyak goreng). Sebab kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap para petani sawit.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, pasca diterapkannya kebijakan tersebut, pabrik kelapa sawit (PKS) mengurangi pembelian tandan buah segar (TBS) dan menurunkan harga pembelian TBS.
Baca juga: Asosiasi Petani Sawit Surati Jokowi Minta Cabut Larangan Ekspor CPO
“Petani sawit saat ini kesulitan menjual TBS nya. Sudah sulit jual TBS, harganya pun murah,” kata Tungkot di Jakarta, Minggu (15/5/2022).
Menurut Tungkot, petani sawit di Indonesia saat ini ada sekitar 2,3 juta kepala keluarga. Mereka menggarap sekitar 6,8 juta hektare (ha) kebun sawit. “Merekalah yang merasakan kesulitan memasarkan TBS,” katanya.
Karena itu, lanjut Tungkot, penerapan aturan pelarangan ekspor itu jangan terlalu lama. Sebab kalau lama, kebijakan tersebut akan berdampak buruk bagi petani sawit paling tidak hingga dua tahun ke depan.
Baca juga: Analis Beberkan Dampak Negatif Atas Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng
“Harga TBS turun sehingga para petani tidak sanggup membeli pupuk. Apalagi saat ini pupuk mahal. Karena tak memupuk, produksi tanaman sawitnya akan turun. Dan ini dampaknya bisa sampai dua tahun,” katanya.
Diketahui, kebijakan larangan ekspor ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Dalam beleid itu, eksportir dilarang sementara melakukan ekspor minyak goreng beserta beberapa bahan bakunya.
Aturan yang berlaku mulai 28 April 2022 ini, akan dievaluasi secara periodik melalui rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian setiap bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Baca juga: Bulan Ini, Dewan Sawit Indonesia Optimis Larangan Ekspor CPO Akan Dicabut
Menurut Tungkot, saat ini waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut. Sebab faktanya seluruh produsen TBS kesulitan menjual TBSnya. Apalagi selama Permendag No 22 Tahun 2022 tersebut diterapkan tidak terjadi penurunan harga minyak goreng secara signifikan.
“Artinya, pelarangan ekspor ini bukan cara yang tepat untuk membuat harga minyak goreng di dalam negeri murah,” tukas Tungkot. Bahkan, selama ada pelarangan ekspor, malah terjadi penyelundupan minyak goreng ke luar negeri. “Jadi kebijakan ini tidak efektif,” katanya.
Menurut Tungkot, kebijakan yang efektif yakni distribusi minyak goreng subsidi yang sedang dilakukan Perum Bulog. Bulog turun tangan mendistribusikan minyak goreng dengan harga Rp 14.000 per liter.
Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Wayan Supadno mengungkapkan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng berdampak serius kepada petani sawit.
Dia menjelaskan, total produksi CPO nasional pada 2021 sebanyak 52 juta ton. Di mana dari total produksi tersebut, sekitar 34 juta ton (64 % ) diekspor, sedangkan yang 18 juta ton (36 % ) digunakan untuk kebutuhan dalam negeri baik untuk pangan, energi maupun oleochemical.
Mengingat yang 34 juta ton tersebut tidak boleh diekspor, tentu CPO tersebut tidak punya pasar. “Karena tidak punya pasar, PKS tidak sudi memproduksi. Kalau PKS tidak berproduksi, maka wajar saja PKS tidak membeli TBS milik petani,” kata Wayan Supadno.
Akibatnya, di banyak daerah petani tidak memanen TBSnya. Sebab kalaupun toh dipanen, harganya sangat rendah. Bumerang bagi petani sawit. TBS yang tidak dipanen tersebut akan menjadi berkembangbiaknya jamur yang merusak pohon sawit itu sendiri.
“Jadi sawit itu wajib hukumnya dipanen pada pohon yang sama setiap 15 hari sekali. Jika tidak dipanen, maka akan menjadi bumerang, karena akan menyebabkan penyakit pada pohon sawit itu sendiri. Ini masalah serius yang kami rasakan,” kata Wayan.
Wayan Supadno menceritakan sebelum ada pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng, harga TBS di tingkat petani Rp 3.800 per kg. Namun saat ini harganya anjlok bervariasi. Ada PKS yang masih bersedia membeli TBS petani Rp 2.000 per kg, namun ada yang membeli Rp 1.500, bahkan ada yang dibeli Rp 500 per kg.
Bervariasinya harga TBS petani ini, kata Wayan Supadno, lebih disebabkan kondisi PKS itu sendiri. Jika PKS tersebut memiliki pasar di dalam negeri, maka dia berani membeli dengan harga di kisaran Rp 2.000 per kg. Namun apabila PKS tersebut berorientasi ekspor, maka dia hanya berani membeli TBS dengan harga yang rendah.
artikel ini sudah tayang di Kontan dengan judul Harga TBS Petani Turun, Pemerintah Didesak Evaluasi Larangan Ekspor CPO