Resesi Semakin Nyata, Pasar Saham Amerika Serikat Ambruk Semua
Nico Demus mengatakan, suka atau tidak suka, mereka harus menerima kenyataan, bahwa resesi semakin dekat, semakin terlihat nyata.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah situasi dan kondisi yang gegap gempita soal kenaikan tingkat suku bunga The Fed kemarin, ternyata optimis itu tidak berlangsung lama.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, suka atau tidak suka, mereka harus menerima kenyataan, bahwa resesi semakin dekat, semakin terlihat nyata.
"Kekhawatiran pelaku pasar dan investor itulah yang telah mendorong Dow Jones turun 2,42 persen, dan akhirnya untuk pertama kalinya sejak Januari 2021, Dow Jones ditutup di bawah 30.000," ujar dia melalui risetnya, Jumat (17/6/2022).
Baca juga: The Fed Kerek Suku Bunga, Ini Dampak Jika Tidak Direspons Serius oleh Bank Indonesia
Selain itu, indeks saham S&P 500 turun hingga 3,25 persen, dan Nasdaq Composite turun 4,08 persen atau menyentuh level terendah sejak September 2020.
"Luka, memang tidak bisa ditutupi dengan senyuman, begitupun dengan kekhawatiran pasar. Di mana pada dasarnya, mereka memiliki alasan untuk mengalami pelemahan akibat tingginya kenaikkan tingkat suku bunga, sekalipun The Fed memiliki ketegasan dalam menaikkan tingkat suku bunga," kata Nico.
Namun pagi ini, menurutnya kisah The Fed hanya sebagai pembuka, karena cerita sebenarnya akan datang dari Bank Sentral Eropa.
Baca juga: Dampak The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan, Jumlah Pengangguran Diprediksi Meningkat
Bank Sentral Eropa saat ini tengah mendiskusikan strategi yang lebih luas untuk melindungi kawasan Eropa, di tengah lonjakan imbal hasil obligasi Italia.
Kemudian, Bank Sentral Eropa tengah memikirkan apakah akan menggunakan reinvestasi dari program pembelian aset pandemi mereka secara fleksibel sebagai langkah pertama atau tidak.
"Memang ada apa dengan obligasi Italia? Obligasi Italia mengalami kenaikan pada hari Rabu, di mana imbal hasilnya naik untuk pertama kalinya sejak 2014 silam hingga 4 persen. Sejauh ini, pelaku pasar dan juga investor serta Bank Sentral Eropa juga tidak begitu yakin, apakah Bank Sentral Eropa akan menaikkan tingkat suku bunganya atau tidak ketika inflasi di wilayah Eropa tengah mengalami kenaikkan," pungkasnya.
Sebelumnya, untuk mengatasi tingginya inflasi, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) menyetujui kenaikan suku bunga terbesarnya, pada Rabu (15/6/2022).
The Fed menargetkan menurunkan inflasi hingga ke level 2 persen, sehingga upaya–upaya agresif penting untuk dilakukan.
Baca juga: The Fed Kerek Suku Bunga, Analis Sebut Pelemahan Rupiah Bakal Kembali Berlanjut
Kenaikan suku bunga The Fed yang mencapai 75 basis poin tersebut, yang tertinggi sejak hampir tiga dekade. Kenaikan suku bunga ini merupakan kenaikan paling agresif sejak tahun 1994.
Federal Reserve menyetujui kenaikan suku bunga untuk membendung lonjakan inflasi yang diakui pejabat bank sentral AS dapat mengikis kepercayaan publik.