Di Tengah Kekhawatiran Resesi dan Dolar Menguat, Harga Minyak Turun 6 Persen ke Level Terendah
Brent berjangka turun 6,69 dolar AS atau 5,6 persen, dan menetap 113,12 dolar AS per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI)
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Harga minyak anjlok sekitar 6 persen ke level terendah dalam empat minggu pada hari Jumat (17/6) di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga oleh bank sentral utama yang dapat memperlambat ekonomi global dan memangkas permintaan energi.
Dikutip dari Reuters, Sabtu (18/6/2022) Dolar AS minggu ini naik ke level tertinggi sejak Desember 2002 terhadap beberapa mata uang, dan membuat harga minyak lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lainnya.
Brent berjangka turun 6,69 dolar AS atau 5,6 persen, dan menetap 113,12 dolar AS per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 8,03 dolar AS, atau 6,8 persen, dan menetap 109,56 dolar AS per barel.
Baca juga: The Fed Naikkan Suku Bunga, Ini Imbasnya pada Minyak Dunia hingga Rupiah
Itu adalah penutupan terendah untuk Brent sejak 20 Mei dan terendah untuk WTI sejak 12 Mei, dan juga merupakan persentase penurunan harian terbesar untuk Brent sejak awal Mei dan terbesar untuk WTI sejak akhir Maret.
Untuk minggu ini, Brent berjangka turun untuk pertama kalinya dalam lima minggu, sementara WTI turun untuk pertama kalinya dalam delapan minggu.
"Harga minyak mentah jatuh karena dolar menguat, Rusia mengisyaratkan ekspor minyak harus meningkat, dan karena kekhawatiran resesi global tumbuh," kata Edward Moya, analis pasar senior di perusahaan data dan analitik OANDA.
Para gubernur bank sentral global yang dengan cepat melonggarkan kebijakan moneter selama pandemi untuk menghindari resesi, kini mengetatkan untuk memerangi inflasi.
Sementara itu, Federal Reserve minggu ini menaikkan suku bunga AS paling banyak dalam waktu lebih dari seperempat abad.
"Dengan bank sentral membuat langkah yang cukup substansial untuk membatasi pertumbuhan melalui kenaikan suku bunga dan pengetatan moneter muncul di sektor perminyakan," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC di New York.
Baca juga: Harga Minyak Melemah, Brent Diperdagangkan 119,46 Dolar AS per Barel
Kilduff menambahkan, pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat akan memangkas tuntutan energi.
The Fed yang diperkirakan akan terus menaikkan suku bunga, membuat open interest di WTI berjangka di New York Mercantile Exchange turun pada hari Kamis (16/6) ke level terendah sejak Mei 2016 karena investor mengurangi aset berisiko.
Bensin dan solar AS juga turun lebih dari 4 persen yang membuat harga solar di SPBU mencapai rekor tertinggi 5,798 dolar AS per galon pada hari Jumat (17/6), sementara harga bensin mencapai rekor tertinggi 5,016 dolar AS di awal minggu.
Perusahaan energi A.S. minggu ini menambahkan hanya empat rig minyak karena Presiden Joe Biden mengecam produsen setelah mendapat untung dari harga setinggi langit, alih-alih berbuat lebih banyak untuk meningkatkan produksi.
Bahkan ketika pemerintahannya ingin Arab Saudi memproduksi lebih banyak minyak, Biden mengisyaratkan tidak akan mengadakan pertemuan bilateral dengan pemimpin de facto Arab Saudi Mohammed bin Salman selama perjalanannya ke wilayah itu bulan depan.
Di sisi lain, Wakil Menteri Energi Rusia mengharapkan ekspor minyaknya meningkat pada 2022 meskipun ada sanksi Barat dan embargo Eropa.
Gejolak pasar tentu meningkat sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari.