Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

The Fed Dinilai Masih Bakal Agresif, Analis Sebut Rupiah Berpeluang ke Rp 15.000 per Dolar AS

ada dua isu yang akan menjadi penggerak nilai tukar rupiah hingga berpeluang melemah ke Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).Apa saja?

Editor: Sanusi
zoom-in The Fed Dinilai Masih Bakal Agresif, Analis Sebut Rupiah Berpeluang ke Rp 15.000 per Dolar AS
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan, ada dua isu yang akan menjadi penggerak nilai tukar rupiah hingga berpeluang melemah ke Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS). 

Secara historis, pergerakan harga emas sangat dipengaruhi oleh volatilitas dolar. Ketika kurs dolar turun maka harga emas naik, begitupun sebaliknya. Hal inilah yang membuat emas menjadi salah satu instrumen investasi paling aman, lantaran harganya stabil dan cenderung naik. Berbeda dengan aset investasi lainnya seperti obligasi dan saham yang sangat sensitif akan pergerakan kurs .

Adanya inflasi serta ketidakpastian ekonomi di pasar global, hingga membuat investor melakukan aksi jual tajam pada bursa Wall Street disinyalir juga menjadi faktor pendukung atas meningkat harga emas di pasar spot.

Namun apabila kebijakan The Fed yang menaikkan suku bunga dapat memerangi inflasi dan mengembalikan penguatan pada dolar AS maka nilai jual emas akan kembali melemah.

“Iming-iming safe-haven emas bisa memudar, jika Federal Reserve berhasil memerangi inflasi tanpa mendorong Amerika Serikat ke dalam resesi” kata Carsten Menke, kepala Penelitian di perbankan Swiss, Julius Baer.

Kenaikan harga logam imbas kebijakan The Fed tak hanya terjadi pada emas saja.

Hal ini juga berlaku pada beberapa produk logam lainnya seperti perak yang naik 1,2 menjadi 21,90 dolar AS per ounce pada perdagangan spot, kemudian ada platinum yang menguat sebanyak 1,3 persen menjadi 951,52 dolar AS, dan disusul oleh palladium yang terkerek naik 1,4 persen menjadi 1,887,50 dolar AS.

Investor Asing Masih Borong Saham di BEI

BERITA REKOMENDASI

Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve atau The Fed telah menaikkan tingkat suku bunga sebanyak 75 basis poin (bps) menjadi 1,5 persen hingga 1,75 persen dan menjadi kenaikkan tertinggi sejak 1994. 

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat tren suku bunga tinggi di AS belum berdampak pada pasar saham di Indonesia.

Investor asing masih mencatatkan beli bersih Rp 70,58 triliun sampai akhir pekan lalu. "Investor (asing) masih melakukan pembelian bersih saham di Indonesia," ujarnya melalui pesan suara kepada Tribunnews.com, Jumat (17/6/2022).

Baca juga: Prediksi Perkembangan IHSG di Tengah Rencana Rapat Dewan Gubernur BI Pekan Depan

Bhima mengungkapkan ada beberapa alasan investor asing masih belanja di pasar saham tanah air, pertama yakni sudah melakukan price-in, atau bisa menebak bahwa inflasi Amerika tinggi akan disusul oleh kenaikan tingkat suku bunga dari The Fed. 

"Kedua, sebenarnya kenapa masih cukup positif, ya karena dibanding 2013 pada saat terjadinya taper tantrum, saat ini situasi current account defisit di Indonesia jauh lebih baik," katanya. 

Selain itu, neraca perdagangan dalam posisi surplus, dan cadangan devisa masih bisa untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah. 

Kendati demikian, menurutnya dalam beberapa pekan ke depan ini, yang masih ditunggu-tunggu adalah respon dari bank sentral di negara lainnya.

"Di Kanada, kemudian di Inggris. Bagaimana melihat tren kenaikan suku bunga Amerika ini, apa akan menyusul," pungkas Bhima.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas