GAPPRI: Simplifikasi Cukai Hasil Tembakau Akan Menekan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau
GAPPRI juga berharap agar sebaiknya duduk bersama untuk membuat kebijakan yang adil terhadap kelangsungan IHT legal
Penulis: Sanusi
Editor: Muhammad Zulfikar
![GAPPRI: Simplifikasi Cukai Hasil Tembakau Akan Menekan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/ilustrasi-cukai-rokok-30122019.jpg)
“IHT juga memberi kontribusi penerimaan negara dari cukai yang mencapai rata-rata 10 persen dari total penerimaan perpajakan. Di tahun 2021, cukainya Rp.188,3 Triliun. Belum lagi dari pajak rokok, PPN HT, dan PPh,” ujar Henry Najoan.
Akademisi Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, Mudiyati Rahmatunnisa berpandangan, IHT merupakan sektor ekonomi yang sangat strategis dan menjadi sektor andalan bagi Negara. Pasalnya, IHT telah menyumbang 10 persen dari total pendapatan negara. Tahun lalu pendapatan dari cukai hasil tembakau (CHT) lebih dari 160 triliun. Sementara, target 2022 lebih kurang 209 triliun.
Baca juga: Asosiasi Tolak Rencana Simplifikasi Cukai, Pemerintah Diminta Bersimpati terhadap Kondisi IHT
Mudiyati menilai, kebijakan kenaikan cukai yang eksesif jelas sangat berat bagi kelangsungan IHT. Kenaikan CHT sudah memangkas secara signifikan jumlah pabrikan. Data resmi menunjukan, tahun 2007 jumlah pabrik rokok sekitar 4.000. tahun 2018, jumlah pabrik rokok berkurang menjadi 600, itu juga yang aktif berproduksi setiap hari sekitar 100 pabrik.
Rencana penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai yang marak belakangan ini juga menjadi perhatian Mudiyati. Menurutnya, simplifikasi akan menghantam keras pabrikan menengah kecil. Pabrikan besar relatif bertahan, namun diprediksi akan mengalami penurunan produksi. Simplifikasi akan semakin memperketat persaingan industri.
“Kebijakan kenaikan cukai yang eksesif dan simplifikasi memiliki potensi memperkuat oligopolistik di sektor IHT. Pasalnya, nggak semua bisa bertahan. Pada akhirnya akan ada pemusatan atau penguasaan industri oleh sejumlah kecil pemain. Dan long term, penurunan jumlah pabrikan dan produksi pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pendapatan dari CHT,” terang Mudiyati.
Mudiyati menambahkan, dampak penerapan simplifikasi lainnya adalah kekhawatiran pabrikan yang tutup akan masuk ke rokok ilegal demi untuk bertahan (survival). Di lain sisi, peredaran rokok ilegal sudah sangat memprihatinkan akibat kenaikan cukai hasil tembakau.
“Simplifikasi berpotensi memperburuk peredaran rokok ilegal yang justru akan merugikan penerimaan Negara,” tegasnya.
Mudiyati pun mewanti-wanti agar pemerintah dalam melakukan pengaturan IHT perlu kajian komprehensif dan hati-hati, jangan hanya mempertimbangkan sektor yang terbatas.
“Kajian komprehensif untuk menghindari konsekuensi yang tak diinginkan (unintended consequences) yang justru akan mengurangi efektivitas kebijakan pemerintah nantinya, karena menimbulkan dampak negatif di sektor lain,” kata Mudiyati.
Baca juga: INDEF: Dibutuhkan Kebijakan Baru untuk Dorong Produk IHT Rendah Nikotin
Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto mengatakan, penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai telah dilakukan sejak tahun 2010, dari 20 layer tarif sampai dengan tahun 2022 menjadi 8 layer tarif.
Menurut Akbar, tujuan simplifikasi adalah untuk optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi, serta kemudahan pemungutan/pengawasan hasil tembakau.
“Untuk kebijakan layer ke depan, pemerintah masih melakukan kajian secara komprehensif dengan berbagai pertimbangan dan masukan stakeholder terkait,” kata Akbar.
Sementara itu, legislator Fraksi PKB DPR RI, Nur Nadlifah meminta pemerintah bersikap independen dan memperhatikan kesejahteraan para petani tembakau serta pekerja saat merumuskan kebijakan terkait industri hasil tembakau (IHT). Pasalnya, banyak pihak yang mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang mengancam keberlangsungan IHT melalui kampanye-kampanye hitam anti tembakau.
“Kampanye hitam itu ingin menghancurkan IHT dalam negeri melalui berbagai tuduhan yang belum tentu faktual dan bahkan menyudutkan, seakan-akan industri ini adalah sebuah dosa besar. Ini sangat disayangkan mengingat jutaan orang menggantungkan hidupnya pada industri ini," tegas Nur Nadlifah.