Inflasi Korea Selatan Cetak Rekor Tertinggi Dalam Kurun Waktu 24 Tahun Terakhir
Inflasi Korea Selatan pada bulan Juni mencapai level tertinggi sejak krisis keuangan Asia yang terjadi lebih dari dua dekade lalu.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, SEOUL – Inflasi Korea Selatan pada bulan Juni mencapai level tertinggi sejak krisis keuangan Asia yang terjadi lebih dari dua dekade lalu.
Data menunjukkan pada Selasa (5/7/2022) indeks harga konsumen tumbuh sedikit lebih cepat dari perkiraan, yakni sebesar 6,0 persen pada bulan Juni dibandingkan tahun sebelumnya, sekaligus yang tertinggi sejak November 1998.
Sementara data lain menunjukkan cadangan devisa menyusut paling besar sejak akhir 2008.
Baca juga: Inflasi Melonjak, Jerman Catat Defisit Perdagangan Bulanan Pertama Sejak 1991
Ekonom dan pakar pasar Korea Selatan menepis bahwa negara tersebut yang jatuh ke dalam krisis seperti yang terjadi beberapa kali di masa lalu.
Tetapi beberapa dari mereka juga memperingatkan pemerintah dan bank sentral yang saat ini sedang menghadapi masa sulit.
"Pembuatan kebijakan akan menjadi semakin sulit karena mereka memiliki campuran risiko inflasi naik dan risiko pertumbuhan ekonomi turun yang terus berlanjut untuk saat ini," kata Park Seok-gil, seorang analis di JPMorgan Chase Bank.
Angka inflasi yang tinggi memperkuat kasus kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral sebesar 50 basis poin yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kerentanan Korea Selatan terhadap guncangan eksternal terjadi akibat ketergantungan yang besar pada perdagangan luar negeri dan arus modal lintas batas, yang juga telah membuatnya berada di bawah tekanan dengan meningkatnya dana yang keluar dari pasar saham lokal dan turunnya nilai won.
Mencerminkan ketegangan, premi credit default swap (CDS) bertenor lima tahun negara itu telah melonjak 30,57 basis poin dan saat ini menjadi 52,54, tertinggi sejak hari-hari awal pandemi Covid-19 pada awal 2020.
Pasar keuangan lokal tidak menunjukkan tanda-tanda panik pada Selasa ini, dengan persepsi bahwa masalah yang dihadapi Korea Selatan sebagian besar dari luar negeri dan tren global.
Pasar saham, obligasi dan mata uang semuanya membukukan keuntungan kecil.
Di sisi lain, tekanan terus meningkat di atas pemerintahan Presiden konservatif Yoon Seok-yeol, yang baru mulai bekerja dua bulan lalu dan belum memberikan blue print mengenai kebijakan yang luas tentang bagaimana membuat perbedaan dari pendahulunya.
Presiden Yoon telah memerintahkan reformasi sektor publik, menyerukan penjualan aset menganggur dan penghematan pengeluaran, sambil berjanji bahwa dia akan memimpin pertemuan darurat tentang ekonomi setiap minggu.
Sejak Yoon menjabat, bank sentral telah menjual dolar untuk mengamankan jatuhnya mata uang won ke level terlemah sejak krisis keuangan global 2008-2009.
Baca juga: Thailand Juga Dilanda Lonjakan Inflasi, Tertinggi Sejak 14 Tahun Terakhir
Bank of Korea mengatakan bahwa pihaknya menjual sebagian dari cadangan devisanya selama empat bulan berturut-turut mulai bulan Juni untuk mengurangi volatilitas di pasar valuta asing.
Bank of Korea tidak mengungkapkan berapa banyak yang dijual, tetapi intervensi serta lonjakan dolar terhadap mata uang utama lainnya menyebabkan nilai dolar dari cadangan devisanya menyusut sebesar 9,43 miliar dolar AS pada bulan Juni.
Sementara itu, cadangan devisa Korea Selatan menduduki peringkat kesembilan di dunia pada akhir Mei dengan jumlah 438,28 miliar dolar AS, cukup untuk menutupi lebih dari tujuh bulan impor berdasarkan jumlah rata-rata bulanan untuk tahun ini.