Ini Penyebab Maraknya Kegiatan Pertambangan Ilegal di Sejumlah Daerah
Maraknya kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) di sejumlah daerah di Indonesia ditengarai akibat adanya pembiaran dan minimnya pengawasan
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maraknya kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) di sejumlah daerah di Indonesia ditengarai akibat adanya pembiaran dan minimnya pengawasan dari pihak berwenang.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dirilis beberapa waktu lalu menyebutkan, hingga kuartal III 2022 terdapat lebih dari 2.700 lokasi pertambangan tanpa izin di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 2.600-an lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batu bara.
Baca juga: Komisaris MIND ID Doni Monardo: BUMN Tambang Harus Transparan Kelola CSR
Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan, maraknya aktivitas PETI tidak bisa dilepaskan dari nilai ekonomi yang didapat masyarakat, apalagi banyak masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dari aktivitas ilegal tersebut.
Di sisi lain, perizinan tambang rakyat saat ini masih sulit karena belum optimalnya komitmen dari pemerintah daerah dalam menetapkan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Baca juga: Sukses Vale Indonesia Jadi Contoh BUMN Tambang Lain
Khusus IPR, kata Redi, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
"Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan, dan kurangnya fasilitasi perizinan. Itu penyebabnya,” kata Redi, Senin (25/7/2022).
Menurutnya, dalam praktiknya PETI bisa bermacam-macam. Pelaku ada yang memanfaatkan area hutan lindung dan hutan produksi, ada juga yang melakukannya di lahan yang termasuk eilayah izin usaha pertambangan milik perusahaan.
Bahkan, dia menyebut ada juga PETI yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil.
Ia menilai, kondisi tersebut merugikan banyak pihak, sebab selain potensi kerusakan wilayah karena praktiknya tidak mengindahkan kaidah lingkungan dan aspek Kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan (HSSE), PETI juga merugikan negara karena pelaku tidak menyetor royalti maupun pajak.
"Padahal, SDA yang ada di bawah permukaan tanah merupakan kekayaan yang dikuasai negara sehingga untuk dapat diusahakan perlu mendapat perizinan dari pihak yang berwenang,” katanya.
Dia menambahkan, secara normatif, Pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa PETI merupakan kejahatan sehingga pelakunya dikenai pertanggungjawaban pidana.
Penegakan hukum pidana, baik penal maupun nonpenal dapat dilakukan dalam pencegahan dan penindakan PETI.
Agar aktivitas PETI bisa diberantas, Redi menyampaikan, harus ada upaya hukum yang bersifat multiektor disertai koordinasi antarinstansi terkait.
Selain itu, juga diperlukan penegakan hukum yang kuat serta supervisi antara kementerian dan lembaga agar pemberatasan praktik illegal ini bisa berhasil.
“Perlu juga ada Satgas Penanggulangan PETI. Satgas ini tidak hanya bersifat penegakan hukum, tetapi juga melakukan pembinaan, fasilitasi, dan supervisi,” ujar Redi.
Selain itu, Redi menilai perlunya komitmen yang tinggi dari stakeholders terkait untuk mengatasi masalah PETI, di mana pembentukan Satgas Penanggulangan PETI menjadi salah satu cara agar ada kerja teroraganisir, lintas sektor, dan komprehensif dalam mengatasi persoalan PETI.