IMF Soroti Pembengkakan Utang di Kawasan Asia, Sederet Negara Ini Berpotensi Mengalami Resesi
Peringatan resesi tersebut dipicu oleh membengkaknya tagihan utang akibat lonjakan inflasi serta adanya pengetatan kondisi keuangan dunia.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA – Direktur Departemen Asia dan Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF) Krishna Srinivasan menyerukan peringatan resesi dini terhadap negara-negara di kawasan Asia.
Peringatan resesi tersebut dipicu oleh membengkaknya tagihan utang akibat lonjakan inflasi serta adanya pengetatan kondisi keuangan dunia.
Mengutip dari CNBC International, Jumat (29/7/2022), utang negara-negara di kawasan Asia pada tahun 2022 telah meningkat menjadi 38 persen, angka ini meningkat jauh apabila dibandingkan dengan total utang sebelum pandemi. Dimana saat itu utang Asia hanya dipatok 25 persen.
"Jadi ada banyak negara di kawasan yang menghadapi utang yang tinggi. Dan beberapa dari negara-negara ini berada di wilayah kesulitan utang. Jadi itu yang harus kita waspadai," kata Srinivasan.
Baca juga: Ekonomi Amerika Kontraksi, Joe Biden hingga Janet Yellen Bantah AS Mengalami Resesi
Munculnya pembengkakan utang sontak memicu kekhawatiran IMF akan adanya potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi di Asia.
Bahkan Kepala Ekonom Nomura Rob memperkirakan sejumlah negara di Asia akan terancam mengalami resesi dangkal selama lima kuartal berturut-turut, dimulai dari kuartal terakhir tahun ini.
Sebelum membahas negara Asia yang berpotensi mengalami resesi, reporter Tribunnews.com sedikit menjelaskan pengertian dari Resesi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resesi memiliki arti kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurunnya (mundurnya, berkurangnya) kegiatan dagang (industri).
Sementara arti resesi yang dikutip dari laman sikapiuangmu.ojk.go.id, yaitu suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara sedang memburuk.
Hal ini biasanya ditandai dengan adanya penurunan produk domestik bruto (PDB), meningkatnya pengangguran, serta adanya pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Baca juga: Janet Yellen Sebut Ekonomi AS Tidak Dalam Resesi, Meskipun PDB Merosot
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Hal tersebut tentunya mengancam keselamatan ekonomi disuatu negara.
Seperti Sri lanka yang baru-baru ini hancur akibat dihantam gejolak resesi, imbas dari adanya pembengkakan utang luar negeri hingga mencapai 45 miliar dolar AS, melansir Times of India.
Selain Sri Lanka berikut sederet negara di Asia yang berpotensi terancam mengalami resesi imbas pembengkakan utang.
1. LAOS
Negara di Asia Tenggara ini mencatatkan lonjakan utang publik sebesar 88 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2021. Imbas dari pembengkakan tersebut angka inflasi tahunan di Laos naik menjadi 23,6 persen. Bahkan kini Laos harus berjuang lebih keras untuk merestrukturisasi utangnya yang bernilai miliaran dolar AS.
Meski Moody's Investor Services telah menurunkan peringkat negara yang diperintah komunis ini menjadi 'junk' pada bulan Juni lalu. Namun menurut IMF, Laos masih memiliki cadangan uang sebesar 1,3 miliar dolar AS per Desember tahun lalu.
Baca juga: Bos The Fed Bantah Ekonomi AS Sedang dalam Resesi
2. Maladewa
Mengutip dari CNBC International, Maladewa telah mengalami pembengkakan utang publiknya hingga nilainya melampaui di atas 100 persen dari PDB-nya. Ketua Majelis Rakyat (Parlemen Maladewa) dan mantan Presiden Mohamed Nasheed mencatat total utang Maldives pada China sudah melonjak jadi 3,5 miliar dolar AS.
Lonjakan ini terjadi setelah sektor pariwisata negara kepulauan ini redup akibat dihantam pandemi Covid-19 selama beberapa tahun terakhir. Alasan inilah yang membuat Maladewa mengalami penurunan pendapatan hingga pihaknya nekat melakukan pinjaman dalam jumlah yang fantastis, untuk mengimpor bahan bakar di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia.
Baca juga: IMF Peringatkan Inflasi Tinggi Bisa Mengancam Ekonomi ke Jurang Resesi
3. Mongolia
Negara kecil yang berada di timur Asia ini diketahui memiliki rasio utang sebesar 60 persen terhadap PDB. Kenaikan ini lantas mengantarkan lonjakan inflasi Mongolia, Bank Pembangunan Asia mencatat laju inflasi tahunan Mongolia saat ini telah mencapai 12,4 persen. Lompat jauh apabila dibandingkan dari inflasi di tahun sebelumnya.
Krisis finansial yang dihadapi Mongolia akibat terpukul lonjakan harga pangan dan energi pasar global, ketergantungan Mongolia pada produk impor membuat negara ini harus menguras kantongnya demi mencukupi kebutuhan pangan dan energi pada jutaan warga negaranya.
4. Papua Nugini
Menyusul yang lainnya, Papua juga mengalami pembengkakan utang yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan total pinjaman negara ini nilainya telah melesat ke rekor tertinggi, dengan seperempat utang atau senilai 2 miliar dolar AS dipinjam Papua Nugini dari China.
Mengutip dari situs AFP, melonjaknya utang Papua Nugini terjadi imbas adanya pembengkakan biaya untuk membangun sejumlah infrastruktur negara serta untuk peningkatan produksi PNG di negaranya. Namun lantaran sektor PNG Papua Nugini terus menghadapi gangguan, membuat operasi dari PNG negara ini gagal bersaing dengan produsen energi lainnya.
Baca juga: Menkeu Janet Yellen: Ekonomi AS Melambat, Resesi Tidak Terhindarkan
5. India
Angka inflasi di negara Bollywood ini telah mencapai level tertinggi 8 tahun pada bulan Mei dengan menyentuh angka 7,42 persen. Melansir data Refinitiv, lonjakan inflasi di India didorong oleh melambungnya harga bahan pangan seperti sayuran, bumbu-bumbuan, dan minyak nabati.
Selain bahan pangan, lonjakan inflasi India juga didukung dengan meroketnya harga bahan bakar rumah tangga yang naik hingga 15 persen. Alasan inilah yang membuat India harus menambah pinjamannya untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya.
Bahkan untuk menghalau percepatan inflasi tahunan, bank sentra India turut menaikkan suku bunga acuan sebesar 90 bps menjadi 4,9 persen. Namun sayangnya cara tersebut belum cukup mampu memperlambat angka inflasi di India.