Anggota DPR Sebut Jumlah Kasus Perokok Turun, Pemerintah Perlu Tinjau Ulang RPJMN 2020-2024
RPJMN semestinya tidak hanya sangat serius ketika membicarakan rokok sebagai penyebab sejumlah penyakit tidak menular.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Malvyandie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, khususnya yang berkaitan dengan pertembakauan, menjadi sorotan sejumlah pihak.
Pasalnya, acuan bagi berbagai kebijakan pada banyak sektor tersebut dianggap perlu untuk segera ditinjau ulang.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun diantara yang menilai, cara pandang pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 masih bersifat asimetris dan kurang membicarakan hal-hal yang strategis.
Baca juga: Misbakhun: RPJMN 2020-2024 Diskriminatif terhadap Sektor Pertembakauan
Padahal, menurutnya, industri tembakau semestinya ditempatkan pada fokus yang luas.
”Seharusnya RPJMN membicarakan bagaimana tembakau itu menjadi produk pertanian strategis, membicarakan bagaimana penerimaan cukai itu menopang sekitar Rp 200 triliun, dan memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap penerimaan negara. Ingat, disaat kita mengalami kontraksi, pertumbuhan penerimaan cukai yang bisa mencapai 100 persen itu hanya di sektor penerimaan cukai tembakau,” tegas Misbakhun dalam keterangan tertulisnya hari ini, Selasa (2/8/2022).
Baca juga: Misbakhun Bela Industri Rumahan Kelembak Menyan Imbas dari PMK Baru Cukai Rokok
Kebijakan menaikkan harga rokok melalui sejumlah kebijakan terus terjadi hampir setiap tahunnya.
Mulai dari simplifikasi golongan, kenaikan harga jual eceran (HJE), hingga kenaikan cukai rokok.
Pemerintah memiliki harapan bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tersebut dapat mendukung tujuan pemerintah dalam menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3 – 32,4 persen dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8 – 8,9 persen pada 2021.
Menurut Misbakhun, fokus untuk pengendalian perokok anak ini tidak luput dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana Pemerintah berkomitmen untuk mengendalikan konsumsi tembakau bagi perokok anak usia sekolah dan remaja sebesar 8,7 persen pada 5 tahun mendatang.
”RPJMN semestinya mengulas rencana strategis pembangunan nasional secara luas , bukan malah menempatkan industri tembakau pada fokus yang sempit,” tandasnya.
Mantan pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini menginginkan RPJMN lebih obyektif. Terkait masalah kesehatan, misalnya. RPJMN semestinya tidak hanya sangat serius ketika membicarakan rokok sebagai penyebab sejumlah penyakit tidak menular.
”Seakan-akan rokok ini satu-satunya penyebab masalah kesehatan di Indonesia,” cetusnya.
Target untuk menurunkan prevalensi perokok yang tertuang dalam RPJMN ini seringkali dianggap tidak digunakan secara proporsional dan obyektif.