Pemerintah Diminta Hapus Mata Anggaran untuk Pembayaran Subsidi Bunga Obligasi Rekap Eks BLBI
Pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI membuat anggaran untuk rakyat menjadi terbatas karena anggaran tersedot habis untuk hal tak penting.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah harus menghapus semua mata anggaran yang tidak berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat seperti pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pasalnya, pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI membuat anggaran untuk rakyat menjadi terbatas karena anggaran tersedot habis untuk hal yang tidak penting.
Demikian diungkapkan Staf Ahli Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Hardjuno Wiwoho, di Jakarta, Jumat (12/8/2022).
Baca juga: Pansus BLBI DPD RI Jadwalkan Kembali Panggil Para Obligor BLBI
“Sejak dahulu, saya menyerukan agar stop pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI ini. Ini anggaran yang tidak produktif. Alihkan anggaran itu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tegasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan 800 juta jiwa penduduk dunia terancam kelaparan.
Presiden juga menyatakan bahwa subsidi BBM telah mencapai Rp 502 triliun.
“Ini warning bagi anggaran kita. Kalau terus dipakai untuk hal-hal yang tidak penting maka ini menjadi ancaman bagi masa depan anak cucu bangsa ini,” terangnya.
Hardjuno memuji komitmen Presiden Jokowi yang telah menunjukkan kekuatan seorang pemimpin saat mendorong Polri menuntaskan kasus pembunuhan Brigadir J.
Baca juga: Upaya Kejar Aset Obligor BLBI Kerap Tak Maksimal, Pemerintah Disarankan Pilih Cara Negoisasi
Karena itu, sudah saatnya Presiden menunjukkan kekuatan pada konglomerat-konglomerat yang selama ini mengangkangi negara dengan menikmati bunga rekap hingga Rp 50-an triliun per tahun yang diambil dari APBN.
“Obligasi rekap BLBI ini borok yang bikin sakit semua tubuh kita. Kita semua, pajak rakyat dipakai untuk membayar bunga selama 23 tahun sejak 1999 yang bank-banknya hari ini sudah jadi bank raksasa semua. Sampai kapan dibiarkan?” tandas Hardjuno.
Hardjuno menegaskan, jika pajak rakyat terus dibiarkan untuk membayar beban subsidi bunga obligasi rekap sampai 2043 jelas sangat tidak adil.
Karena angkanya bernilai total Rp 4.000 triliun.
“Jumlah yang fantastis sekali. Ini sangat berbahaya, apalagi tingkat kemiskinan hari ini masih dua digit dan ancaman kelaparan di depan mata,” terangnya.
“Alangkah baiknya, dana yang sangat besar itu dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia,” imbuhnya.