Inflasi Mengancam, Bank Sentral China dan Turki Justru Kompak Turunkan Suku Bunga Acuan
Bank sentral China memotong bunga reverse dari 2,1 persen menjadi 2 persen untuk menekan laju inflasi yang naik.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING – Bank sentral China atau People's Bank of China (PBOC) dan bank sentral Turki kompak mengerek turun suku bunga acuannya di tengah perlambatan ekonomi akibat inflasi.
Strategi ini sangat berbeda jika dibandingkan strategi yang diambil bank bank sentral negara lain seperti The Fed yang terus mengerek suku bunga.
Langkah yang diambil bank sentral China dan Turki berlawanan dengan tren ekonomi yang telah ditetapkan beberapa bank sentral di dunia,
Namun menurut kedua bank sentra, pelonggaran kebijakan di tengah perlambatan ekonomi diyakini dapat kembali memacu konsumsi masyarakat.
PBOC menurunkan suku bunga pinjaman satu tahun sebesar 10 basis poin menjadi 2,75 persen.
PBOC juga memotong bunga reverse dari 2,1 persen menjadi 2 persen.
Langkah serupa juga diikuti oleh bank sentral Turki, tepatnya setelah Eropa dilanda krisis energi imbas dari embargo yang dilakukan raksasa energi Gazprom Rusia pada UE. Melonjaknya harga energi lantas membuat harga pangan di Turki ikut terseret naik ke level tertinggi.
Baca juga: Inflasi Inggris Tembus 10,1 Persen, Capai Rekor Tertinggi dalam 40 Tahun
Bank sentral Turki terpaksa memangkas suku bunga utamanya sebesar 100 basis poin menjadi 13 persen di tengah laju inflasi yang nyaris melesat di level 80 persen, dikutip dari Financial Times.
Kebijakan ini dimaksudkan pemerintah Turki untuk memberikan kredit murah dengan begitu kegiatan ekspor bisa kembali berjalan, sehingga nilai mata uang lira dapat kembali terpacu naik setelah sebelumnya lira anjlok 1,2 persen menjadi 18,15 lira per dolar AS.
Baca juga: Bank Sentral Sri Lanka Tahan Suku Bunga, Mati-matian Turunkan Inflasi
Strategi yang diambil bank sentral China dan Turki ambil ini juga dapat menekan angka pengangguran kaum muda, di tengah memanasnya gejolak ekonomi di China dan Turki selama beberapa bulan terakhir.
Sebelum bank sentral China mengambil kebijakan ini, negara tirai bambu itu diketahui tengah berjuang melawan penurunan pendapatan akibat anjloknya omset penjualan properti serta melemahnya penjualan di bidang manufaktur.
Baca juga: Joe Biden Tandatangani Undang-Undang Pajak, Perubahan Iklim dan Kesehatan untuk Mengatasi Inflasi
Berbagai pelemahan tersebut merupakan imbas dari penguncian wilayah di Kota Shanghai akibat lonjakan kasus baru Covid-19.
Alasan tersebut yang mendorong indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI) naik 2,7 persen pada bulan lalu.