Kegiatan PETI Disebut Makin Masif, Ahli Pertambangan Berikan Delapan Rekomendasi ke Pemerintah
Data Kementerian ESDM hingga kuartal III 2021 menunjukkan terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di sektor mineral dan batu bara dinilai semakin tak terkendali, terutama ketika harga komoditas terus naik dan menyebabkan terjadinya disparitas harga tinggi.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menerangkan, harus dibedakan kegiatan PETI dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Kegiatan PETI pada umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan yang sederhana, tidak berizin, tidak berwawasan lingkungan dan keselamatan serta melibatkan pemodal dan pedagang.
Pada kasus tertentu, terdapat juga pertambangan illegal yang dilakukan oleh perusahaan dan koperasi.
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Aktif Susun Strategi untuk Cegah Pertambangan Tanpa Izin
"Sedangkan IPR adalah kegiatan penambangan berizin/legal (IPR) yang dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan sederhana dan dilakukan dalam sebuah Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai dengan UU Minerba No. 3 Tahun 2020," ujar Rizal dikutip Rabu (24/8/2022).
Menurut Rizal, PETI tumbuh seiring peningkatan harga komoditas tambang yang semakin tinggi dan lemahnya penegakan hukum.
Kegiatan PETI yang semakin marak terjadi di Indonesia, meskipun terdapat ancaman pidana maupun perdata, faktanya pertambangan tanpa izin tetap berlangsung tanpa terkendali.
Data Kementerian ESDM hingga kuartal III 2021 menunjukkan terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, lokasi PETI batubara sekitar 96 lokasi dan PETI mineral sekitar 2.645 lokasi.
Rizal menegaskan, kegiatan PETI menimbulkan tumbuhnya perdagangan produk pertambangan di pasar-pasar gelap (black market) yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap penghindaran pajak resmi penjualan bahan tambang.
Kegiatan PETI juga berpotensi besar merusak lingkungan (potential polluter) yang dampatk negatif tidak saja merugikan pemerintah, tapi juga masyarkat luas dan generasi mendatang
"Maraknya PETI karena enam hal, yaitu komoditas tambang yang mudah ditambang, mudah diolah (teknologi sederhana), mudah dijual, pasarnya terbuka sekali, harga komoditas yang tinggi dan sangat menguntungkan, cadangan berlimpah dan dekat permukaan, serta pengawasan, penindakan dan penegakan hukum rendah," tutur Rizal.
Baca juga: Peluncuran SIMBARA Diklaim Bisa Atasi Praktik Tambang Ilegal
Oleh sebab itu, Perhapi memberikan delapan rekomendasi kepada pemerintah untuk menanggulangi kegiatan PETI.