Staf Khusus Menteri Keuangan Blak-blakan Terkait Besarnya APBN untuk Subsidi BBM
Berdasarkan data, subsidi BBM mencapai Rp 14,6 triliun dari Rp 11 triliun.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo membenarkan bahwa subsidi BBM 2022 mencapai Rp 502,4 triliun.
Dia mengatakan besaran angka subsidi tersebut telah diatur dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2022.
"Kami jawab dengan tegas, betul. Angka itu ada di Perpres 98 Tahun 2022," ujar Yustinus lewat akun Twitter resminya, dikutip Senin (29/8/2022).
Yustinus pun menjelaskan soal istilah subsidi energi atau subsidi BBM merupakan hal yang sama. Sebab, dia mengatakan BBM memiliki porsi yang paling besar dalam subsidi tersebut.
Baca juga: Hingga Kini Nasib Harga BBM Subsidi Belum Ditentukan, Kabarnya Pertalite Rp10.000 dan Solar Rp7.200
Berdasarkan data, dia menyebut subsidi BBM mencapai Rp 14,6 triliun dari Rp 11 triliun.
Sedangkan kompensasinya disebut naik sembilan kali lipat dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 252,5 triliun.
Kemudian, Yustinus menyebut subsidi LPG mencapai Rp 134,8 triliun dan listrik sebesar Rp100,5 triliun.
"Subsidi atau kompensasi itu esensinya sama. Sama-sama dukungan dari APBN. Bedanya, kalau subsidi, klaim dan pembayaran itu bulanan. Dan kompensasi, klaim dan pembayaran itu semesteran atau satu tahun," ujar Yustinus.
Yustinus menegaskan seluruh subsidi tersebut dikucurkan secara transparan karena diaudit.
"Jadi tidak perlu khawatir, apalagi dipersoalkan ini subsidi atau kompensasi, BBM atau energi. Esensinya sama, ini dukungan APBN. Ini bahasa komunikasi publik saja," ujarnya.
"Karena faktanya, memang BBM mendapat porsi paling besar 53,2 persen atau Rp 267 triliun dan lonjakan kompensasi juga paling besar sembilan kali lipat," ujar Yustinus.
Lebih dari itu, Yustinus meminta publik tidak perlu khawatir lantaran pemerintah terus mendukung supaya masyarakat terlindungi.
Baca juga: Ketua Banggar DPR Setuju Pengalihan Subsidi BBM agar Tepat Sasaran, Ini Alasannya
Dia pun mengajak masyarakat mendukung kebijakan yang berkeadilan demi pemerataan dan kesejahteraan bersama.
"Dan kita pastikan semua transparan dan akuntabel demi kebaikan negeri ini," ujar Yustinus.
Sri Mulyani: Kalau BBM Subsidi Nggak Naik, Anggaran Jebol
Sebelumnya, pemerintah tengah mempertimbangkan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi karena harga minyak dunia mengalami fluktuasi dan berada di level yang cukup tinggi.
Hal itu ditambah lagi, kuota BBM subsidi yang disalurkan Pertamina kian tipis.
Hal tersebut berdampak kepada anggaran subsidi energi, khususnya BBM yang meningkat tajam, dan berpotensi rawan jebol.
Baca juga: Diisukan akan Naik, Berikut Update Harga BBM Hari Ini Senin, 29 Agustus 2022
Terkait polemik wacana naiknya harga BBM subsidi ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan sebagian besar anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar dinikmati oleh orang kaya.
Hanya sedikit dari anggaran BBM subsidi itu yang dinikmati oleh orang miskin.
Dari anggaran subsidi dan kompensasi energi yang ditetapkan sebesar Rp502,4 triliun, mencakup alokasi untuk Pertalite sebesar Rp93 triliun dan alokasi untuk Solar sebesar Rp143 triliun.
Sayangnya, anggaran Pertalite dan Solar itu malah lebih banyak dinikmati oleh orang kaya.
Sebab banyak orang dengan daya ekonomi yang mampu lebih memilih mengkonsumsi BBM bersubsidi.
"Solar dalam hal ini dari Rp143 triliun itu sebanyak 89 persen atau Rp 127 triliunnya yang menikmati adalah dunia usaha dan orang kaya," ujar Sri Mulyani seperti dilansir Kompas.
Begitu pula dengan Pertalite, dari anggaran Rp93 triliun yang dialokasikan untuk biaya kompensasi, sekitar Rp83 triliun dinikmati oleh orang kaya.
Artinya hanya sedikit masyarakat miskin yang mendapat subsidi dan kompensasi energi.
"Dari total Pertalite yang kita subsidi itu Rp83 triliunnya dinikmati 30 persen terkaya," katanya.
Oleh sebab itu, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk membuat kebijakan yang mendorong konsumsi Pertalite dan Solar bisa tepat sasaran.
Terlebih anggaran subsidi dan kompensasi energi bisa bertambah Rp 198 triliun jika tidak ada kebijakan pengendalian dari pemerintah.