Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Atasi Praktik Pertambangan Ilegal, PUSHEP Dorong Efektivitas Penegakan Hukum

PUSHEP menilai, rencana pemerintah membentuk unit kerja eselon satu untuk penegakkan hukum sektor ESDM di Kementerian ESDM dinilai positif

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Atasi Praktik Pertambangan Ilegal, PUSHEP Dorong Efektivitas Penegakan Hukum
Tribunkaltim.co/Geafry Necolsen
Ilustrasi aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan Timur. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bakhtiar mengatakan, dalam memberantas praktik pertambangan tanpa izin (PETI) atau pertambangan ilegal diperlukan penegakkan hukum yang benar. 

Praktik penambangan ilegal komoditas batubara, mineral logam dan nonlogam juga terjadi di Kalimantan Timur, yaitu 36 PETI batu bara di dalam WIUP dan enam PETI mineral. Di Kalimantan Selatan, 26 lokasi PETI batu bara dan 1 PETI mineral.

Penyebab Maraknya Kegiatan Pertambangan Ilegal di Sejumlah Daerah

Maraknya kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) di sejumlah daerah di Indonesia ditengarai akibat adanya pembiaran dan minimnya pengawasan dari pihak berwenang.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dirilis beberapa waktu lalu menyebutkan, hingga kuartal III 2022 terdapat lebih dari 2.700 lokasi pertambangan tanpa izin di Indonesia.

Baca juga: Presiden Jokowi Tinjau Aktivitas Tambang Bawah Tanah PT Freeport Indonesia di Mimika

Dari jumlah tersebut, sekitar 2.600-an lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batu bara.

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan, maraknya aktivitas PETI tidak bisa dilepaskan dari nilai ekonomi yang didapat masyarakat, apalagi banyak masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dari aktivitas ilegal tersebut.

Di sisi lain, perizinan tambang rakyat saat ini masih sulit karena belum optimalnya komitmen dari pemerintah daerah dalam menetapkan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Berita Rekomendasi

Khusus IPR, kata Redi, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

"Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan, dan kurangnya fasilitasi perizinan. Itu penyebabnya,” kata Redi, Senin (25/7/2022).

Menurutnya, dalam praktiknya PETI bisa bermacam-macam. Pelaku ada yang memanfaatkan area hutan lindung dan hutan produksi, ada juga yang melakukannya di lahan yang termasuk eilayah izin usaha pertambangan milik perusahaan.

Baca juga: Bikin Rugi, MInta Pemerintah Lebih Serius Atasi Tambang Ilegal

Bahkan, dia menyebut ada juga PETI yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil.

Ia menilai, kondisi tersebut merugikan banyak pihak, sebab selain potensi kerusakan wilayah karena praktiknya tidak mengindahkan kaidah lingkungan dan aspek Kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan (HSSE), PETI juga merugikan negara karena pelaku tidak menyetor royalti maupun pajak.

"Padahal, SDA yang ada di bawah permukaan tanah merupakan kekayaan yang dikuasai negara sehingga untuk dapat diusahakan perlu mendapat perizinan dari pihak yang berwenang,” katanya.

Dia menambahkan, secara normatif, Pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa PETI merupakan kejahatan sehingga pelakunya dikenai pertanggungjawaban pidana.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas