Dibayangi Resesi Global, Ekonomi dan Pasar Modal Indonesia Dinilai Mampu Bertahan
dibayangi resesi, pertumbuhan ekonomi dan pasar modal Indonesia dinilai oleh sejumlah pengamat ekonomi dan analis masih cukup menjanjikan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi dan pasar modal Indonesia dinilai oleh sejumlah pengamat ekonomi dan analis masih cukup menjanjikan, kendati dibayangi ketidakpastian dan gejolak ekonomi global yang masih terus berlanjut.
Diketahui, perekonomian dunia tengah dihadapkan dengan berbagai kondisi yang tidak kondusif, mulai dari pengetatan kebijakan bank sentral dan peningkatan suku bunga, hingga laju inflasi. Keadaan itu tentu berdampak pada seluruh sektor dan pasar di dunia, termasuk pasar modal.
Research Assisstant-Institute for Economic and Social Research LPEM-FEBUI Syahda Sabrina, mengatakan bahwa pemulihan ekonomi dunia sedikit terhambat karena perang Rusia dan Ukraina, di mana terjadi disrupsi suplai yang menyebabkan shortage beberapa komoditas sehingga harga meningkat tajam, antara lain minyak mentah, gas alam, dan beberapa komoditas pangan. Selain itu, proses pemulihan ekonomi juga dipengaruhi oleh tren pengetatan moneter global.
Baca juga: Analis: Ekonomi Global 2023 dalam Bayang-bayang Resesi dan Ancaman Stagflasi
Syahda mengatakan, kenaikan harga komoditas utamanya disebabkan peningkatan permintaan di tengah pemulihan ekonomi yang ikut diperparah dengan isu geopolitik Rusia-Ukraina. Inflasi global pada akhirnya meningkat sangat tajam.
Di Indonesia, inflasi tercatat 4,69 persen pada Agustus, dimana angka ini sudah melebihi target BI 3±1 persen. Kenaikan inflasi harus diantisipasi oleh bank sentral di seluruh dunia. Bank sentral Amerika Serikat (AS), the Fed, telah menaikan suku bunga, begitupun dengan BI.
"Suku bunga the Fed telah meningkat 300 basis poin sepanjang tahun 2022. Kenaikan suku bunga di AS meningkatkan spread dengan negara berkembang sehingga capital outflow tidak terhindarkan. Capital outflow tak hanya dialami Indonesia, namun juga di seluruh negara berkembang,” jelas Syahda dalam diskusi Invesment Talk, bertema “The Queen’s Gambits: Strategi di Tengah Resesi”, Minggu (2/10/2022).
Menurut Syahda, capital outflow di Indonesia masih terbilang manageable dan terjaga. Demikian pun dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Rupiah hanya terdepresiasi sebesar 6,98 persen (year to date) per September 2022, jauh lebih baik ketimbang negara lainnya.
“Hal ini disebabkan struktur perdagangan internasional Indonesia yang masih didomonasi oleh komoditas. Indonesia kebagian windfall dari kenaikan harga komoditas. Suprlus neraca perdagangan secara konsisten dari Mei 2020 hingga September 2022 yang ditopang oleh batu bara dan kelapa sawit,” terang Syahda.
Baca juga: Resesi Global di Depan Mata, Menimbang Investasi yang Cocok, Analis Sebut Cash is The King
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai masih cukup baik oleh Bank Dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menjanjikan, di mana pertumbuhan ekonomi diproyeksikan masih tetap berada di level 5,1 persen pada 2022. Tentu saja kondisi dan fumdamental ekonomi Indonesia akan memberikan dampak positif bagi pasar modal di negeri ini.
Pada kesempatan yang sama, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata, mengatakan di tengah penurunan indeks saham Dow Jones, pelaku pasar modal domestik cukup lega penutupan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa berada di level 7.040. Indeks Dow Jones ditutup di angka 28.730, di mana sebelumnya pernah ada di level 30.000. Ke depan Dow Jones diproyeksi masih ada tren penurunan, walau tetap ada kemungkinan untuk kembali rebound.
“IHSG sudah bisa bertahan di level 7.000 di level psikologis. Untuk jangka pendek akan ada halangan di level 7.140, lalu beranjak ke level 7.200. Walau ada kemungkinan turun, namun ini tidak akan mengganggu tren peningkatan IHSG ke level 7200. Strateginya, untuk jangka pendek speculative buy atau buy on weakness,” ungkap Liza.
Dari segi valuasi, Liza menilai IHSG masih menarik dengan price to earning ratio (PE) di sekitar 15 kali. Ini disebutnya mirip dengan posisi IHSG saat berada di level rendah pada Maret 2020.
“Berarti kita [IHSG] undervalue,” tukasnya.
Lalu, sektor-sektor apa saja yang akan menguntungkan ke depan?