Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Resesi Mengancam? Ini Tiga Langkah yang Direkomendasikan Agar Aset Kita Aman

Peperangan di timur Eropa dan inflasi yang tidak pasti kapan berakhirnya mengancam dunia pada krisis mendalam.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Resesi Mengancam? Ini Tiga Langkah yang Direkomendasikan Agar Aset Kita Aman
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Gedung-gedung bertingkat menjulang tinggi sebagai pusat roda perekonomian Indonesia terlihat di kawasan Jakarta Pusat, Minggu (9/10/2022). Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal resesi ekonomi global pada 2023. Ekonomi dunia akan masuk jurang resesi seiring dengan tren kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan sebagian besar bank sentral di dunia secara bersamaan. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Peperangan di timur Eropa dan inflasi yang tidak pasti kapan berakhirnya mengancam dunia pada krisis mendalam.

Bahkan sejumlah pakar menyebutkan bila peperangan Rusia-Ukraina terus berkecamuk, jurang resesi telah menanti pada tahun depan.

Bank-bank sentral di sebagian negara telah menaikkan suku bunganya, hal ini bakalan membuat inflasi kembali terjadi.

Akibatnya, perekonomian bakalan terkena imbasnya.

Dengan adanya resesi ekonomi yang salah satunya ditandai dengan terkontraksinya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), tentu ini berpotensi berdampak terhadap kondisi keuangan masyarakat khususnya pekerja.

Baca juga: Sejumlah Tokoh Ekonomi Dunia Ungkap Resesi Global akan Segera Tiba, Begini Proyeksinya

Efisiensi di lingkup perusahaan menjadi salah satu hal yang kerap terjadi dalam resesi.

Oleh karenanya, pakar keuangan menyarankan kepada masyarakat untuk "mempertebal" kepemilikan uang tunai. Dengan demikian, masyarakat dapat meminimalisir imbas dari resesi ekonomi global.

Berita Rekomendasi

Berikut adalah langkah-langkah yang harus dipersiapkan dalam menghadapi resesi ekonomi 2023:

Jangan buru-buru jual aset

Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno mengatakan, resesi ekonomi bukan berarti masyarakat harus berhenti berinvestasi. Atau bahkan menjual seluruh kepemilikan aset investasinya.

"Jangan buru-buru menjual aset investasi anda, karena takut hargannya turun, itu namanya bersikap panik," kata dia kepada Kompas.com, dikutip Jumat (7/10/2022).

Mike menyadari, dalam kondisi perekonomian yang berada di dalam resesi, kinerja investasi cenderung menurun.

Namun demikian, masyarakat disarankan untuk tidak serta merta menjual aset investasinya. Apalagi aset investasi yang dimiliki saat ini nilainya berada jauh di bawah harga beli.

Alih-alih menambah kepemilikan uang tunai, hal itu justru membuat masyarakat merugi.

"Jawabannya itu bukan menjual semua, lalu masukan ke tabungan, ke emas, itu panik. Jawabannya yang paling tepat adalah mengelola risiko investasinya, atau risk management," tuturnya.

Lebih lanjut Mike menjelaskan, peningkatan porsi uang tunai sebagai dana darurat memang diperlukan untuk menjaga likuiditas individu di tengah ketidakpastian ekonomi ke depan.

Dengan tingkat likuiditas keuangan yang baik, individu akan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Baca juga: Resesi Global Hambat Pemulihan Ekonomi Indonesia, Para Pemimpin Negara Sedang Bertarung

"Dalam rangka peningkatan likuiditas ini adalah peningkatan dari dana darurat, menjaga dana darurat kita sesuai dengan kebutuhan kita," kata dia.

Diversifikasi Aset

Namun, di sisi lain masyarakat disarankan untuk tetap berinvestasi. Harapannya, di tengah lonjakan inflasi dana yang dimiliki masyarakat tidak tergerus, justru berkembang.

Ia pun merekomendasikan kepada masyarakat dengan fokus diversifikasi aset. Adapun dana yang digunakan untuk berinvestasi juga disarankan untuk tidak langsung dalam nominal besar.

"Jadi memang benar, kita harus tetap punya cash, investasi yang aman, betul. Dialokasikan secara proporsional," katanya.

Dia menambahkan, "Lalu dana investasi kita sebar lagi, kita juga bisa membeli investasi likuiditas tinggi, contoh reksa dana pasar uang."

Jangan berhenti investasi

Senada dengan Mike, Perencana Keuangan Alliance Group Indonesia Andy Nugroho mengatakan, dengan kondisi pasar yang fluktuatif, bukan berarti individu harus mengurangi atau bahkan berhenti investasi.

Menurutnya, saat ini individu masih dapat menempatkan dananya di instrumen investasi yang memiliki risiko rendah. Contohnya logam mulia, deposito, atau reksa dana berbasis pendapatan tetap.

"Jadi biar (dana) tetap bisa digunakan, dan dicairkan, namun kemungkinan melawan inflasi cukup kuat, kita bisa ditaruh di uang tunai atau instrumen investasi yang memang gampang dicairkan," tutur Andy.

Baca juga: Daftar Negara yang Terancam Resesi 2023, Ada Amerika Serikat hingga Rusia

Selain itu, sebenarnya individu juga masih bisa menempatkan dananya di instrumen investasi berisiko tinggi seperti saham. Namun, ini harus disesuaikan dengan profil investasi masing-masing individu.

Sebagaimana diketahui, profil risiko investasi secara umum terbagi menjadi tiga jenis yakni konservatif, moderat, dan agresif.

Di mana konservatif memiliki profil risiko paling rendah, moderat profil risiko menengah, dan agresif profil risiko paling tinggi.

Untuk individu yang memiliki profil risiko konservatif, Andy tidak menyarankan untuk menempatkan dananya di instrumen investasi risiko tinggi, seperti saham.

Ia merekomendasikan seluruh dana investasi ditempatkan di instrumen investasi risiko rendah.

"Saya akan menyarankan saat ini lebih pada ke deposito misal 20 persen, kemudian logam mulia 20 persen, kemudian mau di reksa dana pendapatan tetap itu bisa di sekitar 30 persen, dan di surat berharga negara itu bisa berupa ORI atau sukuk ritel itu bisa 30 persen," tuturnya.

Sementara untuk profil risiko moderat, individu diperbolehkan untuk menempatkan dananya di produk reksa dana berbasis campuran.

Akan tetapi, sebagian besar dana investasi disarankan untuk ditempatkan di produk investasi pendapatan tetap seperti deposito dan SBN.

"Mereka bisa meraciknya dengan mereka punya portofolio di SBN sebesar 30 persen, kemudian reksa dana berbasis campuran itu 40 persen, kemudian juga untuk deposito itu 15 persen dan logam mulia 15 persen," katanya.

Instrumen investasi berisiko tinggi seperti saham baru direkomendasikan kepada individu dengan profil risiko agresif. Bahkan, kepemilikan saham direkomendasikan mencapai 50 persen dari total portofolio investasi.

Akan tetapi, Andy mengingatkan, individu perlu untuk terus memantau kondisi fundamental perekonomian global.

Ini guna meminimalisir potensi kerugian yang besar jika pasar saham berguguran nantinya.

"Teman-teman yang portofolionya agresif, saya akan menyarankan pasar saham 50 persen, kemudian mereka juga bisa masuk juga di reksa dana berbasis pasar saham 30 persen, kemudian obligasi ritel atau sukuk ritel 20 persen," ucap Andy. (Kontan/Barratut Taqiyyah Rafie/Kompas/Rully R. Ramli/Yoga Sukmana)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas