Harga Minyak Mentah Mengalami Kenaikan di Tengah Minimnya Pasokan
harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berada di level 83,95 dolar AS per barel, setelah naik 1,4 persen
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA - Harga minyak mentah naik di awal perdagangan Asia pada Rabu (19/10/2022).
Kenaikan itu menyusul kekhawatiran atas ketatnya pasokan karena persediaan minyak yang lebih rendah di Amerika Serikat (AS).
Dikutip dari Reuters, harga minyak mentah Brent naik 73 sen, atau 0,8 persen, menjadi 90,76 dolar AS per barel pada pukul 01:00 GMT. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berada di level 83,95 dolar AS per barel, setelah naik 1,4 persen.
Baca juga: Anggota OPEC Plus Sepakat Dukung Pengurangan Produksi Minyak di Tengah Ketegangan AS-Arab Saudi
Di sesi sebelumnya, harga minyak Brent dan WTI menyentuh posisi terendah dalam dua minggu dan masing-masing terkoreksi 1,7 persen dan 1,3 persen, setelah rilisnya laporan rencana Presiden AS Joe Biden untuk melepaskan lebih banyak barel dari Strategic Petroleum Reserve (SPR).
Kekhawatiran mengenai permintaan bahan bakar di China, importir utama minyak, yang lemah juga berkontribusi terhadap penurunan harga minyak di sesi sebelumnya.
Stok minyak mentah AS turun sekitar 1,3 juta barel untuk pekan yang berakhir 14 Oktober, menurut sumber pasar bahan bakar yang mengutip data dari American Petroleum Institute (API), Selasa (18/10/2022).
Data inventaris dari Administrasi Informasi Energi, cabang statistik Departemen Energi AS, akan dirilis hari ini pukul 14:30 GMT.
"Harga minyak juga didukung oleh sentimen risiko yang lebih baik, yang terangkat oleh pendapatan perusahaan AS yang optimis dan jeda dalam lonjakan imbal hasil obligasi," kata analis di CMC Market Tina Teng.
Baca juga: Kinerja Lifting Minyak Belum Capai Target, SKK Migas Genjot Produksi dan Investasi Migas
"Oleh karena itu, aksi jual yang dipicu ketakutan resesi di pasar minyak mereda," tambah Teng.
Sebelumnya, Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan produsen lain termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, menyepakati pengurangan produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari.
Pengurangan produksi tersebut memicu tuduhan Gedung Putih yang menyebut Arab Saudi memaksa beberapa negara untuk mendukung langkah tersebut.
Sekretaris Jenderal OPEC menegaskan pada Selasa, keputusan dari kelompok produsen minyak diambil dengan "suara bulat".
Pemotongan produksi OPEC+, yang terjadi menjelang embargo Uni Eropa terhadap minyak Rusia, akan menekan pasokan di pasar bahan bakar yang sudah ketat.
Sanksi Uni Eropa terhadap minyak mentah dan produk minyak Rusia akan mulai berlaku masing-masing pada Desember 2022 dan Februari 2023.
“Kami memperkirakan produksi Rusia turun 0,6 juta barel per hari pada akhir tahun (di samping penurunan 400.000 barel per hari sejak Februari), karena Eropa menerapkan embargo pada pembelian minyak Rusia serta larangan layanan penting seperti pengiriman, asuransi dan pembiayaan," kata analis di JPMorgan dalam sebuah catatan.
Baca juga: Balas Pemangkasan Minyak OPEC, AS Pindahkan Rudal Patriot Arab Saudi ke Ukraina
Untuk menutup kesenjangan, pemerintah Biden berencana melepaskan lebih banyak minyak dan SPR, sebagai upaya meredam harga bahan bakar sebelum pemilihan kongres pada bulan depan.
Pemerintah AS berencana menjual 15 juta barel minyak dari cadangannya pada Desember, kata seorang pejabat senior AS.
"Harga di pompa minyak adalah pengingat mingguan yang penting bagi konsumen dan pedagang energi tidak perlu terkejut jika Biden terus agresif dalam menekan SPR," kata analis di ANZ Research.