Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Uni Eropa Terapkan RED II, Indonesia Bisa Alihkan Ekspor CPO ke Asia dan Timur Tengah

Uni Eropa memberlakukan penghentian biofeul berbahan baku minyak kelapa sawit secara bertahap hingga 2030 atau yang disebutnya Phase Out 2030

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Uni Eropa Terapkan RED II, Indonesia Bisa Alihkan Ekspor CPO ke Asia dan Timur Tengah
TRIBUNNEWS/Jeprima
Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam jip di Perkebunan sawit di kawasan Bogor, Jawa Barat, Senin (13/9/2021). Hambatan ekspor produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia oleh Uni Eropa (UE) membuat nilai ekspor produk tersebut menurun. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hambatan ekspor produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia oleh Uni Eropa (UE) membuat nilai ekspor produk tersebut menurun.

Meski demikian, Indonesia berpotensi mengalihkan ekspor ke negara lain, seperti negara-negara di Asia dan Timur Tengah.

Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Natan Kambuno mengungkapkan ada kecenderungan penurunan nilai ekspor produk minyak sawit tiap tahun.

Baca juga: Kejaksaan Ungkap Modus Tipu-tipu Pengusaha: Dokumen Minyak Kotor Ternyata Ekspor 14 Kontainer CPO

Hal tersebut terjadi setelah Uni Eropa memberlakuan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II.

"Semakin turun (nilai ekspornya), terutama dalam dua tahun terakhir. Pada 2020, nilainya tercatat US$2,9 miliar, lalu pada 2021 US$2,8 miliar," kata Natan dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Kamis (3/11/2022).

Natan menambahkan, kebijakan RED II diterapkan oleh Uni Eropa sejak Desember 2018. Kebijakan tersebut diskriminatif terhadap produk minyak sawit Indonesia.

Berita Rekomendasi

Pada kesempatan yang sama, Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, kebijakan yang dinilai diskriminatif tersebut bisa jadi mendatangkan peluang terbukanya pasar minyak sawit di negara lain.

"Ibaratnya seperti Perjanjian Hudaibiyah, seolah-olah merugikan kita, tapi bisa jadi mendatangkan kebaikan lain. Uni Eropa tutup pintu, pintu lain negara-negara non-tradisional seperti di Asia dan Timur Tengah masih terbuka," ujarnya.

Baca juga: Sidang Kasus Minyak Goreng: Saksi Akui HET Pemerintah Tak Bisa Imbangi Harga Keekonomian CPO

Pentingnya menjajaki pasar non-tradisional dinilai penting karena produksi sawit Indonesia diperkirakan akan terus meningkat. Itu seiring pembentukan direktorat yang khusus mengurus sawit di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Direktorat ini digagas tak setelah Andi Nur Alam Syah ditunjuk sebagai Dirjen Perkebunan.

Fithra Faisal menambahkan, hambatan ekspor produk minyak sawit dan biofuel asal Indonesia bisa jadi bagus untuk pengembangan produk tersebut di dalam negeri. "Batasan itu bagus untuk ketersediaan di dalam negeri. Kita kan juga butuh untuk mengembangkan produk hilirnya," imbuhnya.

Kebijakan RED II yang diberlakukan Uni Eropa membuat batasan dan mengategorikan biofuel berbahan baku kelapa sawit sebagai high ILUC (indirect land use change) risk. Karena menyebabkan alih fungsi lahan atau ekspansi signifikan terhadap lahan dengan stok karbon tinggi ke area produksi.

Selain itu, Uni Eropa memberlakukan penghentian biofeul berbahan baku minyak kelapa sawit secara bertahap hingga 2030 atau yang disebutnya Phase Out 2030. Uni Eropa juga menetapkan konsumsi penggunaan energi berbahan baku food and feed corps untuk transportasi tidak boleh melebihi tujuh persen sejak 2020. (Willy Widianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas