Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Perkara Larangan Ekspor Bijih Nikel Indonesia Kalah, Ini Langkah yang Akan Ditempuh

Panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan Indonesia kalah dalam sengketa kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Perkara Larangan Ekspor Bijih Nikel Indonesia Kalah, Ini Langkah yang Akan Ditempuh
Foto dokumentasi/OSS
Foto dari udara menunjukkan pemandangan pabrik pengolahan bijih nikel PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang terletak di Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara. Panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan Indonesia kalah dalam sengketa kebijakan larangan ekspor bijih nikel. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan Indonesia kalah dalam sengketa kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

Sengketa dengan negara Uni Eropa tersebut terjadi setelah pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel pada 2020 lalu.

Meski demikian, Indonesia siap mengajukan banding pasca dinyatakan melanggar ketentuan dalam putusan panel WTO terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, keputusan panel belum memiliki keputusan hukum yang tetap.

Baca juga: Tiru OPEC, Indonesia Usulkan Pendirian Organisasi Negara-Negara Penghasil Nikel

"Masih terdapat peluang untuk banding dan tidak perlu mengubah peraturan atau mencabut kebijakan," ungkap Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Senin (21/11/2022) dikutip dari Kontan.

Arifin menjelaskan, dengan kondisi ini angka upaya hilirisasi mineral perlu untuk ditingkatkan. Salah satunya dengan menggencarkan pembangunan smelter.

Mengutip paparan Menteri ESDM, berdasarkan Final Panel Report per 17 Oktober 2022 ada tiga putusan yan dijatuhkan.

BERITA TERKAIT

Pertama, memutuskan kebijakan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.

Kedua, menolak pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) sebagai dasar pembelaan.

Ketiga, Final report akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada tanggal 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda Dispute Settlement Body (DSB) pada tanggal 20 Desember 2022.

Langkah Jika Kalah

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengungkapkan, apapun keputusan WTO, Indonesia tetap akan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk kemajuan industri dalam negeri.

Menurutnya, jika nantinya Indonesia kalah atau harus kembali membuka keran ekspor nikel, masih banyak hal yang dapat dilakukan agar hilirisasi terus berjalan.

Indonesia tidak akan dengan mudah mengekspor bijih nikel yang saat ini menjadi incaran berbagai negara.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyampaikan bahwa Indonesia kemungkinan kalah atas gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO). Gugatan ini muncul atas sikap Indonesia melarang ekspor nikel mentah pada 2020.

Baca juga: Pengamat Energi Nilai Nikel Punya Prospek Bagus dalam Jangka Panjang

“Kita diberi kelebihan dengan sumber daya yang ada. Sumber daya ini wajib digunakan semaksimal mungkin untuk kemajuan bangsa dan negara," ungkap Rizal dalam keterangan yang diperoleh, Selasa (13/9/2022).

"Jika pemerintah telah memberi sinyal nantinya akan menaikkan tarif ekspor bijih, itu hanya salah satu jalan agar ekspor bijih menjadi tidak menarik atau tidak menguntungkan. Namun masih ada beberapa langkah lainnya yang dapat dilakukan,” sambungnya.

Rizal melanjutkan, apapun keputusan WTO nantinya, yang paling harus dijaga adalah kepastian terhadap investasi yang ada saat ini.

Pemerintah harus mengamankan rantai pasok bijih nikel terhadap industri yang telah dan akan tumbuh, yakni pabrik peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery).

Selain meningkatkan tarif ekspor, pemerintah juga dapat mengatur jumlah produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) pemegang izin pertambangan.

Pembatasan produksi dapat dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral guna menjaga umur cadangan nikel dalam negeri.

Baca juga: Industri Nikel Bisa Jadi Penopang Ekonomi RI di Tengah Ancaman Resesi

Selain itu, seperti yang telah dilakukan di batubara, pemerintah juga bisa menerapkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) bagi para pemegang izin produksi pertambangan nikel.

Menurut Rizal, ini wajib dilakukan guna memastikan kebutuhan negeri dapat terpenuhi. Hilirisasi nikel yang telah berjalan harus mendapatkan jaminan bahwa pabriknya tidak akan kekurangan pasokan.

“Berbagai kebijakan ini nantinya akan bermuara pada ekspor menjadi tidak menarik, dan industri yang telah tumbuh dipastikan akan terus tumbuh," papar Rizal.

"Di sisi lain, secara ekonomis, industri yang dekat dengan bahan baku akan lebih menguntungkan,” pungkasnya.

Usulkan Pembentukan Organisasi Pengekspor Nikel

Sebelumnya, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini mengusulkan pendirian organisasi negara-negara penghasil nikel seperti The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).

Usulan ini muncul bukan tanpa alasan, Indonesia sebagai salah satu negara produsen nikel terbesar diyakini bakal memperoleh keuntungan lebih dari pembentukan organisasi ini. Terlebih, Indonesia saat ini tengah berfokus mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.

Rencana ini pun menuai tanggapan positif dari pelaku usaha khususnya sektor pertambangan nikel. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, sudah saatnya Indonesia menjadi pemimpin industri nikel dunia.

"Indonesia bukan hanya negara dengan sumber daya terbesar tapi juga produksi nikel terbesar di dunia," kata Meidy ketika dihubungi Kontan.co.id, Minggu (20/11).

Pembentukan organisasi negara-negara produsen nikel pun diharapkan memberi dampak tidak hanya pada industri pengolahan nikel namun juga sektor pertambangan. Kehadiran organisasi ini juga diharapkan memberikan dampak dari sisi harga nikel.

Meidy menjelaskan, asosiasi kini tengah mengusulkan agar ada Indonesia Nickel Price Index (INCP). Kondisi ini dinilai bisa menjamin harga jual beli industri nikel ke depannya.

Meidy mengungkapkan, saat ini hasil olahan nikel seperti Nickel Pig Iron (NPI), Feronikel dan Nickel Matte kebanyakan masih diekspor ke China.

Baca juga: Orang Terkaya Dunia Elon Musk Pakai Batik dari Daerah Penghasil Nikel Terbesar di Indonesia

"Harga menggunakan London Metal Exchange (LME) dan itu potongannya sampai 45 persen, itu kasihan dan kita harus bersuara karena itu (juga akan) berdampak ke raw material," imbuh Meidy.

Menurut dia, usulan agar memiliki indeks harga sendiri sangat dimungkinkan apalagi Indonesia juga merupakan negara dengan supply chain industri nikel terbesar di dunia.

Senada, Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai pembentukan organisasi ini sangat dimungkinkan. Indonesia bakal memperoleh sejumlah keuntungan dari pembentukan organisasi ini.

"Ini penting karena memang selama ini kebijakan terhadap produksi nikel tidak selaras," kata Redi.

Pembentukan organisasi internasional ini bakal memastikan adanya kendali atas harga nikel dunia oleh para negara anggota. Meski demikian, pembentukan organisasi internasional bukan tanpa halangan.

Redi meyakini bakal ada penolakan dari para negara yang selama ini telah memperoleh keuntungan dari kebijakan yang berlaku saat ini. Untuk itu, dibutuhkan dukungan dari negara-negara produsen lainnya agar rencana pembentukan organisasi internasional ini bisa terwujud.

"Ini membuat kebijakan transisi energi khususnya peran nikel dalam baterai kendaraan listrik bisa terarah karena ini menjadi kepentingan global," tegas Redi.

Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia meyakini dampak positif dari pembentukan organisasi ini.

"Selama ini yang kami lihat, negara-negara industri produsen kendaraan listrik melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik. Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata," ungkap Bahlil.

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas