Hadapi Perubahan Iklim, PSL IPB Ajak Masyarakat Tingkatkan Ketahanan Pangan
Mohamad Jakaria mengatakan sektor pertanian memiliki kontribusi besar terhadap perubahan iklim yang diakibatkan oleh efek gas rumah kaca.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (ECOLOGICA PSL IPB), Himpunan Alumni (HA) PSL IPB bersama Kementerian Pertanian mendorong ketahanan pangan berbasis komunitas antisipasi ancaman krisis global.
Ketua Umum Ecologica PSL IPB, Mohamad Jakaria mengatakan sektor pertanian memiliki kontribusi besar terhadap perubahan iklim yang diakibatkan oleh efek gas rumah kaca.
Adapun faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah penggunaan pupuk kimia dan pupuk yang belum terfermentasi sempurna.
Baca juga: Wapres Harap Mardiono Satukan Visi Dengan Lembaga-lembaga Terkait Kemiskinan dan Ketahanan Pangan
Hal tersebut disampaikan oleh Mohamad Jakaria dalam BTS Propaktani yang sekaligus merupakan Seminar Nasional dan Rapat Kerja HA PSL IPB yang digelar beberapa waktu lalu dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan terhadap perubahan iklim berbasis komunitas.
Acara Seminar Nasional dan Rapat Kerja HA PSL membahas peran pertanian terhadap ketahanan pangan dan ketahanan iklim serta solusi-solusi dalam mengatasi perubahan iklim.
Ketua Prodi PSL IPB, Prof Hadi Susilo Arifin, mengatakan kegiatan Seminar Nasional dan Rapat Kerja ini merupakan momentum yang baik.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi yang turut hadir dalam acara tersebut, menyampaikan bahwa saat ini sudah banyak penggunaan produk pertanian yang ramah lingkungan. Kemudian banyak produk limbah produksi yang dikembalikan ke alam hingga dapat dijadikan energi dengan menggunakan prinsip 3R, yaitu reduce, recycle, reuse.
“Disarankan untuk membentuk badan usaha pertanian kampus. Kita perluas jangkauannya dari Sabang hingga Merauke. Kita ajarkan bagaimana menghasilkan produk pertanian yang sehat. Kita membangun pertanian tidak hanya melihat motif dari segi ekonominya saja, tapi juga lingkungan dan sosialnya untuk pertanian yang keberlanjutan,” ujar Suwandi dikutip, Selasa (29/11/2022).
Selain itu, Suwandi menjelaskan dengan memperbaiki aspek sosial dan ekonomi, akan terjadi kepaduan dari masing-masing aspek sehingga nilai keberlanjutan itu merupakan resultan dari perbaikan aspek-aspek tersebut.
Baca juga: Hidroponik Solusi Ketahanan Pangan saat Pandemi Covid-19, Warga Tanjungsari Olah Sawi jadi Stik
“Sebagai contoh di lapangan, kita sudah cukup lama mengenal biosaka yang bisa digunakan di berbagai daerah. Biosaka berasal dari rumput yang dianggap gulma, tapi ternyata bisa menjadi sahabat petani. Hasil dari penggunaan biosaka ini sangat baik. Rumput yang diramu menjadi biosaka ini bukan pupuk atau makanan tanaman, juga bukan pestisida, tapi merupakan elisitor yaitu bahan-bahan yang bermanfaat untuk memberi sinyal pada tanaman sehingga bisa merangsang pertumbuhan tanaman. Kita uji lab kandungan hormone pada biosaka ini dan hasilnya semuanya bagus. Kandungan fungi, spora dan sejenisnya juga tinggi. Begitupun kandungan bakterinya semua tinggi,” papar Suwandi.
“Kita wujudkan tanah nusantara sebagai land of harmony. Harmoni dalam ilmu ekologi bukan hanya lahannya tapi juga manusia dan lingkungannya sehingga seluruh tanaman yang ditanam di Indonesia akan menghasilkan produk yang sehat untuk dikonsumsi dan ke depannya diharapkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia,” ujarnya.
Sri Wahyuni, Ketua P4S SWEN Inovasi Mandiri menyampaikan bahwa dukungan mandiri pangan ini untuk usaha integrated farming, terdiri dari beberapa unit usaha, tapi utamanya mengenai efisiensi pemanfataan input dan output hasil pertanian.
Baca juga: Dukung Ketahanan Pangan, Kementan Bantu Petani Buleleng dengan Alsintan
Hasil buangan dari suatu usaha dijadikan usaha lain. Itulah yang disebut dari alam kembali ke alam. Dengan adanya pemanfataan pekarangan rumah, dapat mendukung ketahanan pangan. Pertanian terpadu ini menjadi solusi untuk menjaga keamanan pangan, energi, menyediakan udara yang bersih, dan menciptakan lingkungan hidup yang nyaman.
“Luas lahan yang dibutuhkan untuk pertanian terpadu ini minimal 500 meter sudah bisa ditanami. Di Ciomas ini dengan lahan 1.500 meter bisa ditanami dengan berbagai tanaman. Hampir 70 jenis tanaman ada di lahan tersebut. Kita harus bisa mengatur dari biogasnya hingga tanaman lain dan semua produk input outputnya digunakan kembali, tidak ada yang dibuang,” jelas Sri Wahyuni.
“Sebanyak 70 persen kebutuhan pangan bisa terpenuhi oleh hasil tanaman yang ditanam di pekarangan tersebut. Mungkin hanya perlu untuk membeli beras saja. Namun kebutuhan pangan lain bisa didapatkan dari pekarangan kita sendiri,” tambahnya.