Jaga Kualitas Piutang Pembiayaan, Ini Target NPF BRI Finance
PT BRI Multifinance Indonesia (BRI Finance) targetkan portofolio pembiayaan mampu terkelola secara baik.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT BRI Multifinance Indonesia (BRI Finance) targetkan portofolio pembiayaan mampu terkelola secara baik.
Mereka mematok target non performing financing (NPF) berada di bawah 2,5 persen.
Target itu menyusul permintaan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar pada awal November lalu.
Baca juga: BRI Finance Genjot Kinerja Pembiayaan Segmen Konsumen
Ia meminta industri jasa keuangan termasuk multifinance menerapkan prinsip kehati-hatian.
Langkah tersebut diharapkan menjadi mitigasi risiko dalam menghadapi kondisi pasar yang berfluktuasi.
Terlebih adanya potensi resesi ekonomi global ke depan.
Terkait hal itu, Direktur Manajemen Risiko BRI Finance Ari Prayuwana mengatakan pihaknya telah melakukan langkah antisipasi sejak awal pandemi pada 2020.
"BRI Finance ingin tumbuh cepat dengan kualitas yang positif melalui tata kelola yang baik," kata Ari dalam keterangannya, Selasa (29/11/2022).
Ia berujar NPF BRI Finance memiliki kualitas yang terjaga.
Rasio NPF Perseroan hingga kuartal III/2022 tercatat 1,98 persen.
Persentase tersebut diklaim lebih baik dari NPF industri, yaitu 2,58 persen pada periode sama tahun sebelumnya.
Baca juga: BRI Finance Optimistis Pembiayaan Tumbuh 20 Persen pada 2022
Adapun hingga akhir tahun ini BRI Finance mematok target NPF gross sekitar 2,1 persen, sedangkan tahun depan di level 2,2 persen.
“Sebagai komitmen terhadap kualitas aset yang dimiliki, kami senantiasa melakukan panjagaan ketat atas rasio NPF," kata Ari.
"Tujuannya untuk menanggulangi potensi risiko dari kondisi ekonomi yang fluktuatif,” ujarnya melanjutkan.
Seperti diketahui, ekonomi nasional dihadapkan pada beberapa tantangan ke depan yang timbul akibat ketidakpastian ekonomi global.
Antara lain karena inflasi global yang tinggi dan direspon bank sentral di berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan kenaikan suku bunga.
Serta ancaman krisis pangan dan energi yang diakibatkan oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.