Kebutuhan Baja Ditargetkan Tembus 100 Juta Ton Pada 2045, ARFI: Batasi Impor dan Tingkatkan TKDN
saat ini kebutuhan baja nasional berada pada kisaran 16 juta ton dan akan meningkat menjadi 100 juta ton pada tahun 2045
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua umum Asosiasi Roll Former Indonesia (ARFI) Nicolas Kesuma mengatakan, industri baja nasional merupakan salah satu pilar utama bagi pembangunan Indonesia Maju.
Tak hanya di hulu, industri baja di hilir pun harus senantiasa terlibat, berkontribusi serta bersinergi dengan industri lain dalam mewujudkannya.
"Seperti yang telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat ini kebutuhan baja nasional berada pada kisaran 16 juta ton dan akan meningkat menjadi 100 juta ton pada tahun 2045 saat kita menargetkan menjadi negara maju. Pembangunan industri baja menuju 100 juta ton ini merupakan keniscayaan agar Indonesia mampu membangun kemandirian industri nasional. Untuk itu dibutuhkan sinergi yang baik dari hulu ke hilir untuk menjembatani terwujudnya hal tersebut,” terang Nicolas usai menghadiri penutupan IISIA Business Forum 2022, Sabtu (3/12/2022) kemarin.
Baca juga: Impor AS dari Rusia, Terutama Pupuk dan Baja, Naik Berlipat pada Oktober 2022
Nicolas menerangkan, saat ini ada 16 perusahaan besar penghasil produk roll forming yang menguasai pasar baja ringan nasional, bernaung di ARFI.
Seluruh perusahaan tersebut juga sudah berkomitmen dalam mewujudkan kemandirian baja nasional. Namun guna mendukung peningkatan utilitas produksi baja dalam negeri ini, pemerintah juga harus berkomitmen dalam melakukan langkah-langkah seperti pembatasan impor dan peningkatan TKDN dalam pembangunan sehingga produk dalam negeri bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
“Dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mewujudkan kemandirian industri baja. Di antaranya adalah komitmen pemerintah dalam pembatasan impor dan juga peningkatan TKDN sesuai dengan yang diamanatkan Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo dalam setiap pembangunan infrastruktur, terutama dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN),” tegas Nicolas.
Seluruh anggota ARFI sendiri telah berkomitmen untuk menjadi bagian dari pembangunan IKN. Nicolas menyebut, estimasi kebutuhan baja untuk membangun IKN mencapai 9,2 ton dengan nilai mencapai Rp 150,5 triliun. Hal ini tentunya perlu dipersiapkan dengan baik secara kapasitas dan kualitasnya.
Baca juga: IISIA Bekerja Sama dengan KADIN Bakal Gelar Pameran Industri Baja Terbesar di Indonesia
“Baja ringan adalah substansial baja di hilir. Para pengguna, baik masyarakat maupun pemerintah berhak atas produk baja yang berstandar baik. Oleh karena itu, SNI Wajib untuk produk baja wajib diatur dan diberlakukan dari hulu sampai hilir. ARFI sendiri saat ini terus mengawal SNI produk profil baja ringan yaitu SNI 8399 2017 menjadi wajib,” tutur Nicolas.
Sebelumnya, Chairman IISIA, Silmy Karim dalam sambutannya mengatakan, industri baja nasional masih pada tahap pertumbuhan awal yang meningkat pesat seiring pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi baja per kapita Indonesia saat ini masih kurang dari 70 kg per kapita per tahun, jauh tertinggal dari Korea Selatan 1.076 kg, Tiongkok 667 kg, Jepang 456 kg, dan Amerika Serikat 291 kg per kapita.
Konsumsi Indonesia bahkan tertinggal dibandingkan dengan konsumsi baja per kapita negara tetangga ASEAN, seperti Malaysia 210,5 kg, Thailand 233,3 kg, dan Singapura 273,5 kg per kapita. Dari sisi produksi, Indonesia saat ini baru memproduksi baja kasar sebanyak 14,3 juta ton, jauh tertinggal dari Tiongkok 1.032,8 juta ton, India 118,2 juta ton, Jepang 96,3 juta ton, Amerika Serikat 85,8 juta ton, Rusia 75,6 juta ton, dan Korea Selatan 70,4 juta ton.
“Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa peluang berkembangnya industri baja nasional masih sangat besar sehingga kita dorong agar industri baja nasional dapat terserap oleh kebutuhan dalam negeri,” ujar Silmy.