Bos SILO Dukung Program Menkes Atasi Krisis Dokter Spesialis
John Riady mengatakan langkah pemerintah memanggil pulang dokter spesial lulusan luar negeri sudah tepat.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
“Kami sejak semula memikirkan rencana jangka panjang mengembangkan industri kesehatan nasional dengan pendirian rumah sakit yang dibarengi juga dengan keberadaan Fakultas Kedokteran UPH. Hal ini berhasil meningkatkan produksi dokter dan dokter spesialis yang diberikan beasiswa, serta mereka bisa berkarir jangka panjang di SILO,” kata John.
Sebaliknya, John mengaku tidak melebihkan keberhasilan SILO yang kini memiliki jaringan 40 rumah sakit di 27 provinsi.
SILO merupakan rumah sakit pertama yang bekerja sama dengan ‘Gleneagle Hospital Singapore’ dan mendapatkan akreditasi Joint Comission International atau JCI.
John mengungkapkan krisis dokter spesialis harus menjadi tanggung jawab bersama, melibatkan pemerintah, swasta, bahkan jaringan RS BUMN yang kini telah menjadi Holding di bawah Pertamedika.
“Terutama juga menggenjot lagi dunia pendidikan agar bisa memberikan lebih banyak dokter, dokter spesialis, dan tenaga kesehatan. Indonesia masih membutuhkan kehadiran mereka agar tak ada lagi devisa terbuang, serta menjamin kualitas SDM negeri ini,” tutup John.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan atau Kemenkes sejak awal tahun telah menggulirkan program ‘Indonesia Memanggil Dokter Spesialis’ yang ditujukan kepada para diaspora lulusan luar negeri.
Program itupun berhasil memulangkan beberapa dokter spesialis untuk berkiprah memperkuat sistem kesehatan nasional.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan program tersebut selayaknya bisa menambah jumlah dokter spesialis yang bekerja di Indonesia.
“Program ini untuk membuka jalan bagi dokter spesialis lulusan luar negeri untuk berbakti di Indonesia, dengan tanpa mengurangi kompetensi dan kualitas para dokter,” kata Menkes.
Langkah pemerintah ini seiring dengan kepemilikan rasio dokter spesialis di Indonesia yang terbilang rendah.
Mengacu standar WHO, rasio dokter spesialis dan jumlah penduduk idealnya 1:1.000, sedangkan Indonesia baru mencapai 0,46 per 1.000 penduduk, terendah ketiga di ASEAN.