Bursa Wall Street Kembali Catatkan Penurunan Imbas Sikap Hawkish The Fed
Indeks saham benchmark S&P 500 anjlok sebesar 18,6 persen, kinerja tersebut tercatat jadi yang terburuk sejak krisis keuangan 2008.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral AS di pekan ini telah memicu kontraksi pada indeks utama Wall Street, hingga bursa saham ini ditutup lebih rendah pada perdagangan Kamis (22/12/2022).
Dimana indeks saham benchmark S&P 500 anjlok sebesar 18,6 persen, kinerja tersebut tercatat jadi yang terburuk sejak krisis keuangan tahun 2008.
Kondisi serupa juga dialami oleh saham Dow e-minis yang turu 132 poin, atau 0,39 persen diikuti Nasdaq 100 e-minis yang amblas 85,25 poin, atau 0,75 persen.
Baca juga: Dihantui Resesi AS, Pasar Wall Street Anjlok Selama Perdagangan Akhir Pekan
Tak hanya itu sejumlah bursa saham teknologi juga ikut terperosok jatuh selama penutupan pasar di Kamis sore, seperti Micron Technology Inc yang tergelincir 4,3 persen, serta Nvidia Corp , Qualcomm Inc, Advanced Micro Devices Inc hingga Intel Corp yang kompak anjlok hingga kisaran 0,7 persen sampai 1,8 persen.
Penurunan tersebut terjadi sebagai respon para investor akan adanya pengetatan moneter yang dilakukan The Fed, dimana pada tahun 2023 The Fed memproyeksikan kenaikan suku bunga 25 basis poin menjadi 4,5 persen hingga 4,75 persen.
Kenaikan suku bunga sebelumnya sudah diekspektasi para investor, pasar berjangka memperkirakan The Fed akan mengerek laju suku bunga acuan demi mengerem kenaikan inflasi.
Namun, pengetatan tersebut memicu kepanikan para investor akan adanya risiko resesi yang menghantui AS di sepanjang 2023. Mengingat selama 2022 telah berulang kali mengambil sikap agresif.
Tekanan ini yang kemudian membuat para pemain pasar mulai meninggalkan Wall Street, hingga harga sejumlah aset berisiko seperti indeks saham mengalami kemunduran selama beberapa hari terakhir.
“Estimasi PDB kuartal ketiga telah direvisi naik lebih dari yang diharapkan, jika ekonomi terlalu kuat Fed mungkin harus menaikkan suku bunga lebih dari yang diharapkan," kata Robert Pavlik, manajer portofolio senior di Dakota Wealth, Connecticut.
Meski ekonomi AS mulai mencatat kemajuan dengan tumbuh 2,9 persen pada kuartal ketiga, dan tingkat pengangguran juga mendekati level terendah dalam 50 tahun terakhir.
Hal tersebut tak lantas dapat meredakan isu resesi di AS, terlebih Gubernur The Fed Jerome Powell pada akhir pekan kemarin telah meminta para pemain pasar untuk bersiap menghadapi pengetatan lebih lanjut.