Daya Beli Melemah, Industri Manufaktur Asia Merosot Hingga di Bawah 50 Persen
Lonjakan inflasi di sejumlah negara membuat para investor mulai memperketat pengeluaran demi mencegah membengkaknya kerugian.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA – Melemahnya aktivitas jual beli di pasar global selama setahun terakhir, telah membuat sebagian besar pabrik manufaktur yang ada di kawasan Asia mengalami kontraksi lantaran penjualannya anjlok di bawah 50 persen.
Bloomberg mengabarkan, aktivitas manufaktur di sejumlah negara di Asia mulai berkontraksi usai Purchasing Managers’ Index atau PMI mengalami penurunan permintaan pasar global yang tajam.
Seperti Anka PMI Global S&P Vietnam yang telah mengalami penurunan dari 47,4 pada November menjadi 46,4 di bulan Desember 2022, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence Andrew Harker menjelaskan bahwa penurunan ini terjadi setelah pesanan di pasar ekspor utama seperti China, Eropa dan AS menyusut.
Lonjakan inflasi di sejumlah negara membuat para investor mulai memperketat pengeluaran demi mencegah pembengkakan kerugian
Tindakan ini yang kemudian memicu timbulnya kontraksi pada sejumlah produsen di pasar global termasuk Vietnam.
“Sejumlah perusahaan memperkirakan permintaan masih lemah dalam jangka pendek, imbas melemahnya pesanan di pasar ekspor utama.” jelas Harker.
Selain Vietnam, indeks PMI Malaysia juga ikut mencatatkan penurunan tajam selama Desember 2022 menjadi 47,8 dari sebelumnya berada di level 47,9. Penurunan ini jadi yang terendah sejak Agustus 2021.
Kondisi serupa juga dialami perusahaan manufaktur Caixin di China yang turun menjadi 49 pada Desember dari 49,4 di bulan November, penurunan tersebut bahkan memicu anjloknya perekonomian China hingga turun ke level terendah.
Baca juga: Aktivitas Manufaktur China Merosot di Desember 2022 Saat Kasus Covid-19 Melonjak
Penurunan ini terjadi setelah Pemerintah China memberlakukan pelonggaran nol Covid, sayangnya setelah kebijakan ini diberlakukan kasus infeksi Covid di China terus mencatatkan lonjakan tajam.
Alasan tersebut yang kemudian membuat aktivitas produksi manufaktur di negeri tirai bambu itu menyusut, hingga memicu kemerosotan tajam pada pendapatan ekonomi China.
Meski sebagian besar indeks PMI di kawasan Asia mengalami kontraksi, namun hal tersebut tak mempengaruhi pertumbuhan PMI negara Filipina yang dilaporkan mengalami peningkatan sebesar 53,1 dari 52,7, level tertinggi sejak Juni 2022.
Baca juga: Terdampak Lemahnya Permintaan Global, Aktivitas Manufaktur Jepang Merosot di November
Meski saat ini PMI Filipina tengah mencatatkan respon positif, namun ekonom S&P Maryam Baluc memperingatkan agar sektor manufaktur Filipina tetap waspada akan adanya ancaman inflasi dan krisis rantai pasokan di sepanjang 2023.
“Namun, tantangan berupa gangguan rantai pasokan dan tekanan inflasi tetap menjadi perhatian sektor ini dan berpotensi mengancam prospek pertumbuhan pada 2023,” kata Baluch.
Baca juga: Aktivitas Manufaktur Korea Selatan Menyusut pada Desember 2022, Terdampak Aksi Mogok Sopir Truk
Lonjakan juga terjadi pada PMI manufaktur Taiwan yang naik tipis menjadi 44,6 di bulan Desember dari 41,6 pada bulan sebelumnya.
Meski indeks masih mengalami kontraksi selama tujuh bulan berturut-turut, namun dengan adanya lonjakan ini manufaktur Taiwan perlahan mulai menunjukkan adanya sinyal pemulihan.