Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Faisal Basri Kritik Kelangkaan Minyak Goreng: Semrawut Sekali

Penerapan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk menjaga pasokan minyak goreng, langkah yang tidak benar

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Faisal Basri Kritik Kelangkaan Minyak Goreng: Semrawut Sekali
Tribunnews/Nitis
Ekonom Senior Faisal Basri. Ia menyebut penerapan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk menjaga pasokan minyak goreng, merupakan langkah yang tidak tepat dilakukan pemerintah. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri mengkritik minyak goreng yang kembali langka dan mahal di pasar.

Faisal mengatakan bahwa produksi Crude palm oil (CPO) atau bahan membuat minyak goreng turun, begitupun dengan ekspor.

Menurutnya, penurunan ekspor lebih tajam dari pada penurunan produksi CPO.

"Hal ini terjadi karena serapan di dalam negeri meningkat cukup tajam dari 18,4 juta ton 2021 menjadi 20,9 juta ton sehingga minyak goreng harganya naik bukan karena kelangkaan CPO," ucap Faisal dalam webinar Problematika Minyak Goreng, Sabtu (4/2/2023).

Baca juga: Harga Minyak Kemasan Sederhana di Pasar Tembus HET, Kemendag dan Kemenperin Akan Dipanggil KPPU

Dosen FEB UI ini menuturkan komplain harga minyak goreng naik karena kelangkaan CPO tidak tepat.

Faisal memandang penerapan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk menjaga pasokan minyak goreng juga tidak benar.

Berita Rekomendasi

"DMO dan DPO ini yang ngawur karena tidak ada kelangkaan, oleh karena itu tidak benar juga kebijakan Pak Jokowi bahwa CPO itu dilarang ekspor, enggak ada masalah dengan ekspor," tukasnya.

Faisal menyampaikan persoalan minyak goreng di dalam negeri ini sangat kompleks.

"Jadi semrawut, kita nggak tahu siapa konduktornya, semrawut sekali," imbuhnya.

Dia pun menilai ada banyak perbedaan data yang disampaikan berbagai organisasi sawit dengan Badan Pusat Statistik (BPS).

Sebagai akademisi, Faisal mengaku kesulitan untuk melihat inti permasalahan sawit.

"Saya agak mengalami kesulitan untuk melihat, tapi katakanlah kita pakai data Gapki," tukasnya.

Tambah Pasokan

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas