Biaya Proyek Kereta Cepat Bengkak, Indonesia Mau Utang Rp 8,3 Triliun ke China
Wakil Menteri BUMN mengatakan, berdasarkan hitung-hitungannya, nilai pembengkakan biaya kereta cepat mencapai 1,2 miliar dolar AS
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebut bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung mengalami pembengkakan biaya.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, berdasarkan hitung-hitungannya, nilai pembengkakan biaya mencapai 1,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Angka tersebut setara dengan Rp 18,29 triliun (asumsi kurs Rp15.242 per dolar AS).
Baca juga: Biaya Proyek Kereta Cepat Bengkak Jadi Rp 18,29 Triliun, Ini Penyebabnya
Agar proyek tersebut dapat berjalan lancar ke depannya, Pemerintah berencana mencari sumber pembiayaan proyek melalui utang.
Terkait nilainya sekitar 550 juta dolar AS, atau setara Rp 8,37 triliun.
"Nanti porsi yang kita butuhkan sekitar 550 juta dolar AS, sekarang sedang kita ajukan ke CDB (China Development Bank)," ucap pria yang akrab disapa Tiko usai rapat kerja bersama Komisi VI DPR-RI di Jakarta, Senin (13/2/2023).
Ia melanjutkan, tak hanya dari utang, biaya proyek Kereta Cepat juga akan diperkuat melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun anggaran 2022.
Sebelumnya Tiko telah menjelaskan, pembengkakan biaya proyek transportasi masal tersebut terjadi di berbagai komponen, mulai dari harga material, pajak, harga tanah, dan salah satunya frequency clearing.
Baca juga: VIDEO EKSKLUSIF Menhub Budi Karya Sebut Kereta Cepat Jakarta-Bandung Akan Beroperasi Juli 2023
"Memang kita sepakat pada angka cost overrun 1,2 miliar dolar AS, ini sedang kita rapikan," ucap Tiko.
"Jadi memang ada beberapa item yang mereka ingin melakukan kajian terkait pajak, dan terkait dengan biaya clearing frekuensi. Tapi kita sudah sepakat angkanya," sambungnya.
Kementerian BUMN dalam waktu dekat akan melaporkan angka pembengkakan biaya sebesar Rp 18,2 triliun kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Agar mengetahui apakah nilai tersebut relevan atau tidak.
"Kami harus maju ke BPKP untuk menyesuaikan angkanya dan ke komite," pungkas Tiko.