Ekonom Faisal Basri: Kebijakan HET dan Pembatasan Ekspor CPO Picu Krisis Minyak Goreng
Ekonom senior Faisal Basri menilai banyak kebijakan Pemerintah yang kurang tepat terkait dengan tata niaga minyak goreng di Indonesia.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Arif Fajar Nasucha
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri menilai banyak kebijakan Pemerintah yang kurang tepat terkait dengan tata niaga minyak goreng di Indonesia.
Kebijakan yang tidak tepat tersebut memicu krisis minyak goreng di berbagai daerah seperti terjadi di 2022 lalu.
Faisal Basri mencontohkan intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi krisis minyak goreng pada tahun lalu dinilai sebagai kebijakan yang keliru.
Kebijakan pemerintah menerapkan harga eceran tertinggi (HET) maupun pembatasan ekspor crude palm oil (CPO) melalui peraturan domestic market obligation (DMO) justru menjadi pemicu kelangkaan minyak goreng di mana-mana.
“Intervensi pemerintah seharusnya dilandasi unsur-unsur dasar perumusan kebijakan, termasuk mengukur dampak dari kebijakan tersebut. Peraturan HET untuk minyak goreng kemasan dan kewajiban DMO untuk eksportir CPO justru menambah hambatan dan mendistrorsi pasar,” ujar Faisal Basri saat memberi keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dikutip Jumat, (17/2/2023).
"Kebijakan yang berubah-ubah ini juga menimbulkan ketidakpastian yang menyebabkan kelangkaan di pasar," imbuhnya.
Menurut Faisal, ketika pemerintah menerapkan HET minyak goreng kemasan, kemudian muncul disparitas karena harga yang ditetapkan jauh di bawah harga pasar.
Artinya, produsen dipaksa untuk menjual rugi. Produsen yang hanya memproduksi minyak goreng mungkin akan tetap berproduksi selama masih bisa menutupi variable cost.
Baca juga: Promo JSM Alfamart dan Indomaret 17-19 Februari 2023: Diskon Minyak Goreng, Biskuit hingga Sabun
Namun, jika berlangsung lama, perusahaan tersebut akan tutup karena tidak bisa lagi menutupi biaya produksi.
Sementara perusahaan-perusahaan sawit yang lebih terintegrasi dan punya alternatif, mereka akan mengalihkan produksinya ke oleochemical atau biodiesel karena ada jaminan harga atau subsisi dari pemerintah.
“Kebijakan HET juga menyebabkan harga minyak goreng kemasan menjadi murah dibandingkan harga minyak curah," ungkap Faisal Basri.
Hal ini memicu shifting di masyarakat dari minyak curah ke minyak kemasan, seperti halnya terjadi ketika pemerintah menurunkan harga pertamax. Sementara, produksi relatif tetap, sehingga terjadi ketimpangan antara permintaan dan pasokan alias terjadi shortage.
Dengan demikian, kebijakan HET itu hanya efektif apabila pemerintah memiliki stok cadangan untuk menjamin barang tersedia di pasar. "Dalam kasus minyak goreng, pemerintah tidak punya stok,” kata Faisal Basri.
Faisal melanjutkan, dari kacamata kebijakan publik, kebijakan pemerintah seharusnya bisa membuat pasar lebih fleksibel. Kebijakan pemerintah juga sebaiknya tidak berbentuk larangan atau bagi-bagi kuota.
“Intervensi pemerintah tidak boleh mengubah model bisnis," tegasnya.
"Nyatanya, lewat kebijakan DMO, pemerintah mewajibkan produsen sawit untuk memproduksi minyak goreng apabila ingin mengekspor. Padahal, belum belum tentu dia punya pabrik minyak goreng,” lanjutnya.
Selain kebijakan HET, Faisal melihat kelangkaan minyak goreng kemasan juga disebabkan oleh masalah distribusi. Sebab, begitu peraturan HET dibatalkan, dalam waktu singkat barang tersedia lagi di pasar.
“Saya tidak ingin menuduh pihak mana pun karena saya tidak punya data. Bisa saja barang memang ditahan oleh distributor, sub distributor, atau agen. Namun, dengan waktu yang begitu singkat barang tersedia di pasar, sangat kecil kemungkinan itu dilakukan oleh produsen,” tuturnya.
Baca juga: Menko Perekonomian Airlangga Bantah Indonesia Stop Ekspor Minyak Sawit ke Eropa
KPPU Perlu Hati-hati
Faisal juga mengingatkan kepada KPPU agar berhati-hati dalam menyimpulkan adanya kartel yang dilakukan oleh produsen minyak goreng kemasan.
Keseragaman kenaikan harga tidak serta merta menjadi bukti bahwa telah terjadi kesepakatan di antara produsen.
Hal itu merupakan reaksi normal para pelaku usaha menyikapi kenaikan harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng.
“Kalau dilihat, dalam perkara ini terlapornya banyak sekali. Menurut saya, sulit untuk membuat kesepakatan yang melibatakan banyak pihak,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).
Para Terlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober - Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.