Analis: Bisnis Panas Bumi Penuh Risiko, Pertamina Geothermal Energy Tak Seharusnya IPO
Saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk alias PGEO bergerak dengan volatilitas tinggi pada debut perdagangan perdananya di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk alias PGEO bergerak dengan volatilitas tinggi pada debut perdagangan perdananya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (24/2/2023).
Pada pembukaan sesi pertamanya, saham PGEO sempat melonjak ke level Rp925 per lembar dari harga penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) pada level Rp875.
Namun tak lama sama emiten anak usaha PT Pertamina itu turun 6,8 persen hingga menyentuh level auto reject bawah (ARB) ke level Rp815, sebelum akhirnya rebound rebound ke level IPO.
Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama Teguh Hidayat mengatakan, adanya sentimen berlebih dari publik yang ditandai kelebihan permintaan pada masa penawaran.
Di sisi lain, geothermal adalah salah satu bisnis di sektor energi yang memiliki tingkat pengembalian investasi rendah dengan risiko yang tinggi. Bahkan kemungkinan gagal kata dia, bisa mencapai 60-75 persen.
"Maka investasi di pengembangan geothermal adalah high risk investment," kata Teguh kepada wartawan, Sabtu (25/2/2023).
Menurutnya proses bisnis geothermal memakan waktu yang cukup lama. Yakni mulai dari survei awal, penyiapan lahan, perizinan, eksplorasi hingga pengembangan pembangkit listrik yang bisa membutuhkan waktu 7-9 tahun.
Selain sisi risiko tinggi, investasi panas bumi juga membutuhkan modal jumbo. Mulai dari penentuan titik lokasi yang berpotensi, lalu infrastruktur pengembangannya, bahkan eksplorasinya yang mencapai 40-60 persen dana operasional.
Tak ayal jika secara jangka panjang, pengumpulan dana publik perseroan sebagian besarnya akan digunakan untuk belanja modal (capital expenditure/capex) di berbagai wilayah kerja panas bumi (WKP) di Indonesia.
"Risiko kegagalannya pun cukup tinggi, baik dari sisi teknis maupun non teknisnya, seperti ancaman kerusakan lingkungan, resettlement, atau bahkan harus mengorbankan situs-situs di lokasi eksplorasi dan permasalahan sosial lainnya," kata dia.
Teguh menilai kesalahan strategis yang dilakukan perseroan yakni mementingkan pendanaan jangka pendek dalam kondisi yang belum siap. Padahal kata dia, model investasi geothermal adalah jangka panjang dan membutuhkan rekan strategis dalam pengembangan awal.
Baca juga: Anggota Komisi VI DPR Sebut Tidak Ada Pelanggaran Terkait Rencana IPO Pertamina Geothermal Energy
Sehingga kata Teguh, investor yang akan masuk menjadi rekan strategis akan berpikir dua kali jika PGE sudah melantai di bursa. Mengingat naiknya valuasi setelah IPO akan menyulitkan pengembangan bisnis sekaligus mempersempit kerja sama strategis dengan berbagai entitas lainnya ke depan.
"Belum kuatnya pemetaan risiko dan minim expertise membuat lemah fundamental perusahaan," paparnya.