Bursa Saham Asia Meluncur ke Posisi Terendah dalam 2 Bulan Ini
Bursa saham Asia meluncur ke posisi terendah dalam dua bulan terakhir pada perdagangan hari ini.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Bursa saham Asia meluncur ke posisi terendah dalam dua bulan terakhir pada perdagangan Senin (27/2/2023).
Dikutip dari Reuters, indeks MSCI untuk saham Asia-Pasifik di luar Jepang turun 1,0 persen, setelah turun 2,6 persen pada minggu lalu. Indeks Nikkei Jepang turun 0,2 persen dan bursa saham Korea Selatan turun 1,2 persen.
Investor bersiap untuk mencerna data ekonomi Amerika Serikat termasuk Indeks PMI Manufaktur. Selain itu, enam pembuat kebijakan Federal Reserve AS (The Fed) pada pekan lalu memberikan sinyal mengenai kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
China juga akan menerbitkan survei manufaktur dan Kongres Rakyat Nasional yang dimulai pada akhir pekan ini dan akan melihat target dan kebijakan ekonomi baru, serta perombakan pejabat pemerintah.
Blue chips China turun 0,2 persen, sementara saham China Renaissance Holdings melambung setelah bank China daratan itu mengatakan ketuanya yang hilang akan bekerja sama dengan otoritas China dalam proses penyelidikan.
EURO STOXX 50 berjangka bertambah 0,1 persen dan FTSE berjangka naik 0,4 persen.
Sementara S&P 500 berjangka menguat 0,1 persen, sementara Nasdaq berjangka naik tipis 0,2 persen.
Fed berjangka sekarang memprediksi suku bunga memuncak sekitar 5,42 persen, menyiratkan setidaknya tiga kenaikan lagi dari kisaran 4,50 persen menjadi 4,75 persen, dan beberapa peluang kenaikan 50 basis poin di Maret.
Pasar keuangan juga telah mendorong kemungkinan kenaikan suku bunga untuk sejumlah bank sentral lainnya, termasuk Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Inggris.
Baca juga: Bursa Asia Jatuh Jelang Pengumuman Data Ekonomi Pekan Ini
Kepala riset ekonomi di JPMorgan, Bruce Kasman, menambahkan kenaikan seperempat poin lagi ke prospek suku bunga ECB, menjadi 100 basis poin.
"Risiko jelas condong ke arah tindakan yang lebih besar dari The Fed," kata Kasman.
"Permintaan terbukti tangguh dalam menghadapi pengetatan dan berlanjutnya kerusakan pasokan akibat pandemi membatasi moderasi inflasi. Transmisi pergeseran cepat dalam kebijakan yang masih berlangsung juga meningkatkan risiko resesi yang tidak diinginkan oleh bank sentral," sambungnya.
Baca juga: Analis: Investor Saham di Bursa Asia Gelisah Soal Pembatasan dan Protes Covid-19 di China
Dengan hampir berakhirnya musim laporan pendapatan perusahaan, sekitar 69 persen pendapatan perusahaan mengalami kenaikan, dibandingkan dengan rata-rata historis 76 persen, dan pertumbuhan pendapatan tahunan berjalan sekitar -2 persen.
Pergeseran ke atas dalam ekspektasi The Fed menjadi keuntungan bagi dolar AS, yang naik 1,3 persen pada sekeranjang mata uang lain di minggu lalu untuk bertahan di 105.220.
Euro berada di level 1,0546 dolar AS, setelah menyentuh level terendah dalam tujuh minggu di 1,0536 dolar AS pada Jumat (24/2/2023).
Dolar AS mencapai puncak dalam sembilan minggu terakhir pada yen Jepang untuk bertahan di 136,27, sebagian dibantu oleh komentar dovish dari pembuat kebijakan utama di Bank of Japan.
Kenaikan dolar dan imbal hasil telah menjadi beban bagi emas, yang turun 1,7 persen pada minggu lalu dan terakhir berada di 1.810 dolar AS per ons.
Harga minyak turun karena prospek ekspor Rusia yang lebih rendah diimbangi oleh meningkatnya persediaan di Amerika Serikat dan kekhawatiran atas aktivitas ekonomi global.
Brent turun 33 sen menjadi 82,83 dolar AS per barel, sementara harga minyak mentah AS turun 25 sen menjadi 76,07 dolar AS per barel.